Selasa, 20 Januari 2015

MAKALAH HUKUM KEWARISAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Umat Islam mayoritas dan masih eksis di Indonesia. Karena itu tetap menjadi sebuah  peluang besar bagi umat Islam di Indonesia untuk menjalankan Syariat Islam dan  berhukum dengan hukum Islam. Namun idealisme serta harapan ini bukanlah hal yang mudah seperti kita membalikkan tangan, tapi butuh perjuangan, pengorbanan, serta upaya yang maksimal dalam rangka merealisasikannya. Meskipun demikian, umat Islam di Indonesia layak bersyukur, walaupun sampai saat ini hukum yang masih berlaku di Indonesia adalah hukum konvensional alias bukan hukum Islam, namun ada beberapa aspek-aspek kehidupan yang masih menerapkan hukum Islam. Di antaranya hal-hal yang menyangkut masalah pernikahan, perceraian, hak asuh anak, juga masalah pembagian harta waris, sebagaimana yang banyak kita kenal dengan
Istilah “Kompilasi Hukum Islam (KHI)”.Dan sebagaimana kita ketahui bersama, KHI ini banyak digunakan sebagai acuan ataupun dalil bagi Pengadilan Agama. Hukum Waris Islam merupakan hukum yang harus kita jaga, semestinya sebagai umat Islam kita harus mempelajari hukum waris dari Agama kita.Salah satunya adalah dari Kompilasi Hukum Islam tersebut.Karena didalamnya kita dapat melihat nilai-nilai Islam yang wajib untuk kita pelajari.
B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas Maka penulis perlu merumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya:

C.    TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas Maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Latar Belakang Lahirnya Kompilasi Hukum Islam?
2.      Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam?
3.      Pasal - Pasal Kewarisan Yang Termuat Dalam Kompilasi Hukum Islam




BAB II
PEMBAHASAN
Pada akhir dekade 1980-an terdapat dua peristiwa penting berkenaan dengan  perkembangan hukum dan peradilan Islam di Indonesia.
Pertama, pada tanggal 25 Pebruari 1988, ulama Indonesia telah menerima tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam. Rancangan kompilasi itu, pada tanggal 10 Juni 1991, mendapat legalisasi pemerintah dalam  bentuk Instruksi Presiden kepada Menteri Agama untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Instruksi itu dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tanggal 22 Juli 1991.
Kedua, pada tanggal 29 Desember 1989 disahkan dan diundangkan Undang-undang  Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dengan lahirnya undang-undang ini,  persoalan mengenai kewenangan atau kompetensi dan hokum acara Peradilan Agama menjadi berakhir meskipun dalam batas-batas tertentu masih dapat dipersoalkan. Kemudian undang-undang ini diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2006. Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1989 menjadi Undang-UndangNo.3 Tahun 2006 telah mengokohkan Peradilan Agama sebagai salah satu badan peradilan. Secara hukum kedudukannya sudah tidak persoalkan lagi namun di sisi lain ia tidak mempunyai hukum materil atau hukum terapan unikatif. Untuk mengatasi persoalan ini, Kompilasi Hukum Islam hadir sebagai hukum positif yang diperlukan untuk landasan rujukan setiap Peradilan Agama.
Orang Islam yang akan membagi warisan tidak harus tunduk pada ketentuan kewarisan menurut hukum kewarisan Islam. Hal ini didasarkan pada Pasal 49 Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang berbunyi: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:


a.      Perkawinan.
b.      Waris.
c.       Wasiat
d.      Hibah.
e.       Wakaf.
f.        Zakat.
g.      Infaq.
h.      Shadaqah.
i.        Ekonomi syariah


Didalam penjelasan khususnya Pasal 49 huruf b ditegaskan bahwa bidangkewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta  peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta  peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang  penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Terdapat pembaruan yang cukup menonjol dalam kompilasi hukum Islam, terutama jika dibandingkan dengan sistem kewarisan yang dikembangkan oleh Ahlussunnah. Cerminan asas bilateral dalam kompilasi hukum Islam adalah pasal 174 ayat 2 yang berbunyi : Apabila semua ahli waris ada maka yang berhakmendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu,  janda atau duda. Kalimat pendek dalam pasal ini mengakhiri polemik panjang tentang apakah anak perempuan dapat menghijab (menghalangi) saudara pewaris atau tidak.
Sistem kewarisan yang dikembangkan Ahlussunnah menegaskan bahwa hanya anak laki-laki saja yang dapat menghijab saudara pewaris. Konsekuensi berikutnya dari diterimanya asas bilateral adalah dikenalnya pranata pembagian tempat (plaatsvervulling) dalam Kompilasi Hukum Islam.
Ada perbedaan yang sangat menonjol antar kedudukan cucu ( ahli waris dalam garis lurus ke bawah ) dari anaklaki-laki dan cucu dari anak  perempuan. Dua jenis cucu ini tidak mungkin mewaris bersama-sama, sebab cucu dari anak laki-laki menghijab cucu dari anak perempuan. Cucu dari anak laki-laki berkedudukan sebagai ahli waris dzul faraid atau ashabah, sedangkan cucu dari anak perempuan berkedudukan sebagai ahli waris dzul arham. Ketentuannya adalah ahli waris dzul arham baru mewaris apabila tidak ada ahli waris dzul faraid atau ashabah.
KHI yang merupakan kumpulan materi/bahan hukum islam yang tersebar di berbagai kitab fikih klasik, di samping bahan-bahan lain yang berhubungan, kemudian diolah melalui  proses dan metode tertentu, lalu dirumuskan dalam bentuk yang serupa perundang-undangan (yaitu dalam pasal-pasal tertentu) lahir berdasarkan atas landasan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tertanggal 10 Juni 1991.
Khusus mengenai buku II tentang hukum kewarisan, KHI memuat enam bab, 43 pasal, terhitung mulai pasal 171 sampai dengan pasal 214 dengan  perincian sebagai berikut:[1]
BAB I
Ketentuan Umum
Pasal 171
a.       Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentangpemindahan hak pemilikan harta  peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahliwaris dan  berapa bagiannya masing-masing.
b.      Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal  berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
c.       Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinandengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
d.      Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta  benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
e.       Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tahjiz), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.
BAB II
AHLI WARIS
Pasal 172
Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dan kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian,sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.
Pasal 173
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusanHakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
a.       Dipersalahkan telah membunuh atau mencobamembunuh atau menganiaya berat pada  pewaris.
b.      Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukanpengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatanyang diancam dengan hukum 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Pasal 174
Ayat (1),
kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a.       Menurut hubungan darah:
-          Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki- laki, paman dan kakek.
-          Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak  perempuan, saudara perempuan dan nenek.
Ayat (2),
Apabila semua ahli waris ada, maka yang  berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Pasal 175
Ayat (1),
Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
a.       Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
b.      Menyelesaikan baik utang-utang berupa pengobatan,  perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih  piutang.
c.       Menyelesaikan wasiat pewaris.
d.      Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
Ayat (2),
Tanggung jawab ahli waris terhadap utang ataukewajiban pewaris hanya terbatas  pada jumlah atau nilai hartapeninggalannya.
BAB III
BESARNYA BAGIAN
Pasal 176
Anak perempuan bila hanya seorang, ia mendapat separoh bagian,bila dua orang atau lebih, mereka bersama-sama mendapat duapertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengananak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.
Pasal 177
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkananak. Bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.
Pasal 178
Ayat (1),
Ibu mendapat seperempat bagian bila ada anak atau duasaudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara ataulebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.
Ayat (2),
Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambiloleh janda atau duda bila  bersama-sama dengan ayah.
Pasal 179
Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkananak.Dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian.
Pasal 180
Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidakmeninggalkan anak.Dan bila pewaris meninggalkan anak, makajanda mendapat seperdepalapan bagian.
Pasal 181
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, makasaudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masingmendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
Pasal 182
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara  perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandungatau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara  perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan.
Pasal 183
Pada ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalampembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.
Pasal 184
Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampumelaksanakan hak dan kewajibannya, maka baginya diangkatwali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga.
Pasal 185
Ayat (1),
Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripadasi pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya,kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173
Ayat (2),
Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihidari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Pasal 186
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
Pasal 187
Ayat (1),
Bilamana pewaris meninggalkan harta peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana  pembagian harta warisandengan tugas:
a.       Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baikberupa benda bergerak maupun tidak  bergerak yang kemudiandisahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang.
b.      Menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentinganpewaris sesuai dengan pasal 175 ayat (1) sub a, b, dan c.
Ayat (2),
Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalahmerupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli warisyang berhak.
Pasal 188
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapatmengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukanpembagian harta warisan. Bila ada di antara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untukdilakukan pembagian harta warisan.
Pasal 189
Ayat (1),
Bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahanpertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.
Ayat (2),
Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidakdimungkinkan karena di antara  para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing masing.
Pasal 190
Bagi pewaris yang beristri lebih dari seorang, maka masingmasingistri berhak mendapat  bagian atas gono gini dari rumahtangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian  pewarisadalah menjadi hak para ahli warisnya.
Pasal 191
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahliwarisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atasutusan Pengadilan Agama diserahkan  penguasaannya kepada BaitulMal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum.



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Komilasi hukum Islam merupakan hukum Islam yang dijadikan atau diadopsi kedelam hukum positif Indonesia.Hal ini tentunya terjadi karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim sehigga menjadikan hukum Islam sangat bagus untuk dimasukkan ke dalam hokum positif Indonesia. Juga sebenarnya hukum Islam jauh lebih baik dari pada hukum-hukum yang lain. Selain itu hukum Islam juga sangat cocok dengan kepribadian  bangsa Indonesia.
B.     SARAN
Demikian makalah sederhana ini kami susun. Terima kasih atas antusiasme dari pembaca yang sudi menelaah isi makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan saran kritik konstruktif kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan–kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.



DAFTAR ISI



[1] Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2011) Cet 3, hlm. 51-57.

1 komentar so far


EmoticonEmoticon