Sabtu, 31 Januari 2015

SEJARAH PERADILAN ISLAM PADA MASA DINASTI ABASIYAH 2

Keberadaan peradilan islam sangat berpengaruh terhadap stabilitas sebuah negara, karena problematika umat selalu berubah sesuai dengan kondisi sosial politik serta budaya yang melatar belakanginya. Begitu pula yang terjadi pada dunia islam periode abasiyah kedua sampai pada periode usmaniyah. Lembaga peradilan memiliki corak yang berbeda dengan pemerintahan daulah islamiah yang lain.
 
SEJARAH PERADILAN ISLAM PADA MASA DINASTI ABASIYAH 2
SEJARAH PERADILAN ISLAM PADA MASA DINASTI ABASIYAH 2

Peradilan pada masa ini sesungguhnya masih meneruskan tradisi dan kebijakan yang telah dijalankan oleh dinasti sebelumnya. Pada pemerintahan dinasti abasiyah agama islam sudah berkembang keberbagai daerah, para fuqoha’ telah dipencar keberbagai negeri serta bermacam-macam kasus dn hal ihwal umat islam telah terjadi.

Adapun pada dinasti usmaniyah banyak perubahan dalam sistem peradilan karena dipenghujung kekuasaan dinasti ini banyak pengaruh dari dunia barat / eropa yang banyak menggeser sistem peradilan islam sehingga dalam dua dinasti ini sangat menarik untuk didiskusikan.

B. RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang diatas Maka penulis perlu merumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya:

1. Bagaimana sejarah peradilan pada masa dinasti abasiyah kedua
2. Bagaimana sejarah peradilan pada masa dinasti abasiyah kedua usmaniya.
3. Apa saja lembaga peradilan pada masa dinasti abasiyah
4. Apa saja lembaga peradilan pada masa dinasti usmaniyah



C. TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan rumusan masalah diatas Maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sejarah peradilan pada masa dinasti abasiyah kedua

2. Untuk mengetahui sejarah peradilan pada masa dinasti abasiyah kedua usmaniyah

3. Untuk mengetahui peradilan pada masa dinasti abasiyah

4. Untuk mengetahui lembaga peradilan pada masa dinasti usmaniyah

BAB II

PEMBAHASAN




1. PERADILANISLAM PADA MASA BANI ABBASIYAH

A. SEJARAHSINGKAT TENTANG BANI ABBASIYAH

Dinasti abbasiyah merupakan kelanjutan dari dinasti bani umayyah. Dinamakan abbasiyah karena pendiri dinasti ini adalah keturunan dari al-abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dan kekuasaan bani abbasiyah ini berlangsung dalam rentang waktu yang panjang dari tahun 132 H/750 sampai 656 H/ 1258 M.[1]

Abu Al-Abbas al-safah a(750-754 M) adalah pendiri dinasti Bani Abbas. Akan tetapi, karena kekuasaannya sangat singkat, Abu Ja’far Al-Manshurlah (754-775 M) yang banyak berjasa dalam membangun pemerintahan dinasti ini. Pada tahun 762 M, Abu Ja’far al-manshur memindahkan ibu kota dari damaskus ke hasyimiyah, kemudian dipindahkan lagi kebagdad dekat dengan ctesiphon, bekas ibu kota persia. Oleh karena itu, ibu kota pemerintahan Dinasti Abbas berada di tengah-tengah bangsa persia.

Abu Ja’far Al-Manshurlah sebagai pendiri Dinasti Abbasiyah setelah Abu Abbas al-saffah, digambarkan sebagai orang yang kuat dan tegas. Ditangannyalah Abbasiyah mempunyai pengaruh yang kuat. Pada pemerintahannya bagdad sangatlah disegani oleh kekuasaan byzantium. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.

Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahanDaulah Abbasiyah menjadi lima periode :

1. Periode pertama ( 132 H/ 750 M – 232 H/ 847 M), disebutkan periode pengaruh arab dan persia pertama

2. Periode Kedua ( 232 H/ 847 M – 334 H/ 945 M), disebutkan periode pengaruh turki pertama

3. Periode Ketiga ( 334 H/ 945 M – 447 H/ 1055 M), masa kekuasaan Dinasti Bani Buwaihiah dalam pemerintahan Khalifah Abbasiyah. Periode ini disebutkan juga masa pengaruh persia kedua.

4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/ 119 M), Masa kekuasaan Daulah Bani Saljuk dalam pemerintahan Khalifah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh turki kedua 9dibawah kendali ) kesultanan seljuk Raya (salajiqah al-kubra/saljuk Agung).

5. Periode kelima (590 H/ 1194 M – 656 H/ 1258 M), Masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar kota bagdad (invasi dari bangsa tartar, dan ekspansi Bani Utsmani Secara besar-besaran.[2]

Pada periode pertama pemerintahan bani abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifahnya betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Disisi lain, kemakmuran masyarakat rakyat mencapai tingkat tertinggi. Periode in juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam islam. Namun setelah periode ini berakhir , pemerintahan abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.

Dan pada kesempatan ini materi yang akan dibahas yaitu masa daulah abasiyah periode 2 (232 H – 334 M/ 847 M – 946 M)

Pada masa daulah abasiyah periode II ini 13 khalifah yang menjabat,yaitu :

1. Al-Mutawakkil ‘Ala Allah (232-247 H)

2. Al-muntashir billah muhammad, abu ja’far (247 -248 H)

3. Al-musta’in billah, Abu al-abbas (248–251 H)

4. Al-mu’taz billah, mhammad (252-255 H)

5. Al-muhtadi billah (255-256 H)

6. Al-mu’tamid billah (256-279 H)

7. Al-mu’tadhid billah, ahmad (279-289 H)

8. Al-muktafi billah, Abu Muhammad (289-295 H)

9. Al-muqtadir billah, abu al-fadhal (295-320 H)

10. Al-qahir billah, abu manshur (320-322 H)

11. Al-radhi billah, abu al-abbas (322-329 H)

12. Al-muttaqi lillah, abu ishaq (329-333 H)

13. Al-mustakfi billah, abu al-qasim (33-334 H)




B. SejarahPeradilan Islam Pada Masa Bani Abbasiyah

Keberadaan peradilan pada masa ini sesungguhnya meneruskan tradisi dan kebijakan hukum yang telah dijalankan oleh dinasti sebelumnya yakni masa kekuasaan Ummayah, seperti tetap dilestarikannya badan hukum Nazar al-Mazalim dan Lembaga Hisbah[3]. Sebagaimana Umayah yang melebarkan kekuasaannya ke berbagai penjuru kawasan, Abbasiyah juga memperluas kekuasaannya dan sekaligus membentuk pemerintah daerah di berbagai tempat.

Di bawah ini beberapa kebijakan Khalifah Dinasti Abbasiyah dalam bidang peradilan, antara lain, adalah:

1. Lembaga Qadiy al-Qudat (Mahkamah Agung)

Lembaga Qadiy al-Qudat yang merupakan instansi tertinggi dalam peradilan. Kalau untuk zaman sekarang bisa disebut Mahkamah Agung. Badan hukum ini diputuskan pendiriannya sejak masa Harun al-Rasyid yang berkedudukan di ibu kota negara dengan tugas sebagai pengangkat hakim-hakim daerah.

Abu Yusuf dikenal sebagai orang pertama yang dipanggil sebagai qadi al-qudah (hakim agung). Jabatan hakim agung itu diembannya selama tiga periode kekhalifahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, yaitu pada masa Pemerintahan Khalifah Al-Hadi, Al-Mahdi, dan Harun Al-Rasyid. Pada masa khalifah Harun Al-Rasyid Abu yusuf diberikan suatu kehormatan, bahwa semua keputusan mahkamah baik di Barat maupun Timur harus bersandar kepadanya. Jabatan hakim agung dijabat oleh Abu Yusuf hingga ia wafat pada 182 H. Sebagai seorang hakim agung, Abu Yusuf telah banyak melahirkan karya-karya dalam bentuk tulisan berupa kitab-kitab. Dalam “Kitab Al-Fihrist”, sebuah kompilasi bibliografi buku yang ditulis pada abad ke-10 M oleh Ibnu Al-Nadim. Abu Yusuf telah menciptakan sejumlah karya tulis dalam berbagai bidang, termasuk hukum Islam, hukum internasional, dan hadis. Di antara karyanya yang monumental adalah kitab “Al-Athar” suatu narasi dari berbagai tradisi periwayatan hadis. Selain itu, Abu Yusuf juga menulis “Kitab Ikhtilaf Abi Hanifa wa Ibn Abi Layla” yang isinya mengulas mengenai perbandingan fikih. Tak hanya itu, ia juga menulis “Kitab Al-Radd 'Ala Siyar Al-Awza'i” yang merupakan suatu kitab bantahan terhadap “Al-Awza'I” (seorang ahli hukum yang dikenal di Suriah) mengenai hukum peperangan. Kitab lain yang ditulisnya berjudul “Al-Jawami” merupakan buku yang sengaja ditulis untuk Yahya bin Khalid yang berisi tentang perdebatan mengenai ra'yu dan rasio.

Beberapa karyanya yang lain merupakan hasil penulisan kembali yang dilakukan oleh para muridnya dan diteruskan melalui generasi penerusnya. Misalnya, kutipan dari buku Abu Yusuf berjudul “Kitab Al-Hiyal” (Kitab Perangkat-Perangkat Hukum) yang ditulis kembali oleh salah seorang muridnya, Muhammad Al-Shaybani, dalam buku berjudul “Kitab Al-Makharidj fi Al-Hiyal”. murid Abu Hanifah, dan yang lainnya yang menjadi pejabat Qadiy al-Qudat adalah Muhammad Ibn Hasan al Syaibaniy.[4]

2. Wilayah Hisbah

a. PengertianWilayah Hisbah

Wilayah hisbah dari dua kata, yaitu kata wilayah dan hisbah, yang secara harfiah diartikan dengan kewenangan melakukan sesuatu perbuatan baik dengan penuh perhitungan.[5] Upaya pendefinisian wilayah hisbah telah banyak dilakukan seperti yang dikutip oleh alFarakhi, yaitu menyuruh berbuat baik apabila nyata perbuatan itu ditinggalkan, dan melarang berbuat mungkar apabila nyata perbuatan itu dikerjakan.[6]

b. SatusDan Wewenang Wilayah Hisbah

Pada masa Abbasiyah wilayah hisbah sudah terlaksana dengan baik,

lembaga ini berada di bawah lembaga peradilan dan berfungsi untuk memperkecil perkara-perkara yang harus diselesaikan oleh wilayah qadha. hal ini dijelaskan oleh Schacht bahwa pada saat yang sama ketika hakim-hakim peradilan menghadapi perkara yang semakin banyak, ada keharusan untuk akomodasi dan muhtasib.[7] Artinya, keberadaan lembaga ini pada periode Abbasiyah sudah melembaga seperti lembaga pemerintahan lainnya, yang secara struktural berada di bawah lembaga peradilan (qadha). Pada masa ini kewenangan mengangkat muhtasib sudah tidak lagi dalam kekuasaan khalifah, tetapi diserahkan kepada qadhi al-qudhah, baik mengangkat maupun memberhentikannya.[8]

Sistem penerapan wilayah hisbah, muhtasib tidak berhak untuk memutuskan hukum sebagaimana halnya pada wilayah qadha, muhtasib hanya dapat bertindak dalam hal-hal skala kecil dan pelanggaran moral yang jika dianggap perlu muhtasib dapat memberikan hukuman ta’zir terhadap pelanggaran moral. Berdasarkan hal ini kewenangan muhtasib lebih mendekati kewenangan polisi, tetapi bedanya, ruang gerak muhtasib hanyalah soal kesusilaan dan keselamatan masyarakat umum, sedangkan untuk melaksanakan penangkapan, penahanan, dan penyitaan tidak termasuk dalam kewenangannya. Di samping itu, muhtasib juga berwenang melakukan pencegahan terhadap kejahatan perdagangan dalam kedudukannya sebagai pengawas pasar, termasuk mencegah gangguan dan hambatan, pelanggaran di jalan, memakmurkan masjid, dan mencegah kemungkaran seperti minum-minuman keras, perjudian, dan lain-lain

3. Wilayah Al-Mazalim (penyelewengan dan penganiayaan)

Lebaga ini dipisahkan dari wilayah peradilan. Awalnya, penanganan masalah segala bentuk penyelewengan dan penganiayaan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang masuk perkara al-mazalim waktu itu ditangani langsung oleh khalifah. Ketika dinasti Abbasiyah muncul, pada mulanya lembaga tersebut dipegang langsung oleh khalifah. Tapi kemudian khalifah menunjuk seorang wakil yang disebut Qadi al-Mazalim atau Sahib al-Mazalim.

Kedudukan badan ini lebih tinggi dari pada al-qadha dan al-hisbat, karena disini qadhi al-madhalim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qadhi dan muhtasib, meninjau kembali beberapa putusan yang dibuat oleh kedua hakim tersebut, atau menyelesaikan perkara banding. Dapat dikatakan pula bahwa lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Yaitu, memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh para penguasa dan hakim ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa. Sebahagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya.

Badan ini memiliki mahkamat al-madhalim. Sidangnya selalu dihadiri oleh lima unsur sebagai anggota sidang:

a. Para pembela dan pembantu sebagai juri yang berusaha sekuat tenaga meluruskan penyimpangan-penyimpangan hukum.

b. Para hakim yang mempertahankan wibawa hukum dan mengembalikan hak kepada yang berhak.

c. Para fuqaha’ tempat rujukan qadhi al-madhalim bila menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang musykil dari hukum syari’at.

d. Para katib yang mencatat pertanyaan-pertanyaan dalam sidang dan keputusan sidang

e. Para saksi memberi kesaksian pada masalah yang diperkarakan dan menyaksikan bahwa keputusan yang diambil hakim adalah benar dan adil.

Pemegang jabatan ini sendiri tidak mesti seorang hakim, memang hakim lebih didahulukan karena pemahamannya terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum. Namun khalifah seringkali menunjuk pejabat lain yang lebih berwibawa, amanah, dan mampu memberikan perlindungan terhadap masyarakat sehingga kebobrokan dalam tubuh negara bisa dihentikan. Karena itu pejabat lembaga ini kadang kala adalah seorang menteri peperangan. Selain itu, tugas Nazar al-Mazalim adalah:

a. Mengawasi penegakan hukum yang dijalankan oleh khalifah/wali terhadap warga negara, pegawai perpajakan/departemen tertentu, jika mereka menyalahgunakan wewenangnya.

b. Mengawasi terhadap distribusi bantuan pemerintah terhadap orang miskin dari pengurangan, keterlambatan atau mungkin tidak sampainya bantuan tersebut.

c. Membantu qadhi melaksanakan keputusan-keputusan yang dibuat di pengadilan.

d. Mengawasi atau menjaga keberlangsungan praktik-praktik ibadah dan akhirnya mengembalikan barang hasil curian pada orang yang berhak.[9]

Pada masa Abbasiyah juga ditentukan syarat-syarat qadhi al-mazalim yang menangani persoalan al-siyasat al-syari’at. Adapun para ahli dibidang itu mengemukakan syarat-syarat qadhi al-mazalim sebagai berikut:

a. Berkemampuan tinggi (jalil al-qadr)

b. Berkemampuan melaksanakan keputusan (nafiz al-amr)

c. Memiliki wibawah dan pengaruh besar (‘azhim al-haibat)

d. Terkenal bersih dan lurus (zhahir al-iffat)

e. Tidak serakah (qalil al-thama’)

f. Sangat wara’.




4. Al-Nidham Al-Madhalim

Al-Nidham Al-Madhalim adalah yaitu lembaga yang diberi tugas memberikan penjelasan dan pembinaan dalam hukum, menegakkan ketertiban hukum yang berada dalam wilayah pemerintahan ataukah yang berada dalam lingkungan masyarakat serta memutuskan perkara-perkara hukum.

5. Badan Arbitrase

Pada masa ini, di samping Lembaga Pengadilan, ada juga hakam-hakam (badan arbitrase) yang memutuskan perkara antara orang-orang yang mau menyerahkan perkara-perkara kepadanya atas dasar kerelaan kedua belah pihak. Nazhab tahkim ini, dibenarkan oleh Islam. Undang-undang modern pun telah banyak mengambilnya.

6. Hakim

a. Luasnya wewenang hakim

Perbedaan masa Abbasiyah dengan masa sebelumnya adalah ketika masa Khulafa’ al-Rashidin dan masa Ummayah mereka memegang kekuasaan Yudikatif dan ekskutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam urusan peradilan. Dalam artian khalifah tidak lagi mengurus dan memeriksa perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam ke pengadilan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan, maka para hakim yang ditunjuk oleh khalifah-lah yang akan mengusut perkara tersebut. Hal ini bisa dimengerti mengingat bahwa pada saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya memikirkan persoalan politik, baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga tidak memiliki kesempatan lagi untuk membina peradilan secara langsung. Sehingga yang terjadi adalah khalifah tidak lagi memiliki kemampuan ijtihad dan keahlian dalam hukum Islam sebagaimana keahlian yang dimiliki oleh Khulafa’ al-Rashidin yang disamping sebagai seorang khalifah juga seorang ahli hukum.

Pada pada awalnya dinasti Abbasiyah berusaha mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh peradilan, akan tetapi pada masa-masa berikutnya karena berbagai faktor campur tangan itu akhirnya ditinggalkan. Khalifah akhirnya hanya membuat regulasi yang sifatnya umum dan formalitas belaka, seperti pengangkatan hakim-hakim daerah yang setiap hakim itu pada akhirnya memiliki otorita dan independenitas yang tinggi. Kalau dalam masa-masa yang telah lalu, batas wewenang hakim begitu luasnya, maka dalam masa ini bertambah lagi. Dalam masa ini, hakim-hakim itu di samping memperhatikan urusan-urusan perdata, bahkan juga menyelesaikan urusan wakaf, dan menunjukkan pengampu (kurator) untuk anak-anak di bawah umur. Bahkan kadang-kadang para hakim ini diserahkan juga urusan-urusan kepolisian, penganiayaan (mazalim) yang dilakukan oleh penguasa, qishas, hisbah, pemalsuan mata uang dan bait al-mal (kas negara). Salah seorang hakim yang terkemuka pada saat itu adalah Yahya ibn Aktsam ash-Shafi yang diangkat oleh al-Makmun.

Dalam hal ini Ibnu Khaldun mengatakan bahwa, kedudukan peradilan selain untuk menyelesaikan perkara-perkara sengketa, bertugas juga memelihara hak-hak umum, memperhatikan keadaan anak-anak di bawah umur, orang yang tak cakap bertindak secara hukum, seperti anak yatim, orang gila, orang failit, dan lain-lain, serta mengurus harta-harta warisan, wakaf, menjadi wali bagi wanita-wanita yang tidak memiliki wali dan memperhatikan kemaslahatan-kemaslahatan lalu lintas, pembangunan dan memeriksa keadaan-keadaan saksi agar dapat diketahui mana saksi yang adil dan yang tidak.

b. Penyebaran hakim di beberapa wilayah


Pada awalnya, di tiap-tiap daerah diangkat seorang hakim. Akan tetapi pada masa akhir kekuasaan Abbasiyah jumlah Qadiy al-Qudat tidak hanya satu, melainkan lebih dari satu hal ini disebabkan munculnya beberapa pusat kekuasaan baru baik di Mesir (Dinasti Fathimiyyah) di India (Dinasti Mughal) di Iran (Dinasti Safawiy) di Teluk Balkan (Dinasti Ilkhan) sehingga di masing-masing tempat itu terdapat seorang Qadli al-Qudhat yang memiliki otorita hukum untuk menangani perkara banding yang diajukan kepadanya dalam batas wilayah negri tersebut. Bahkan pada masa dinasti Mamluk di Mesir setiap mazhab memiliki seorang Qadiy al-Qudat yang wewenangnya hanya terbatas di kalangan pengikut mazhabnya saja.

c. Tempat Persidangan, waktu dan pakain untuk hakim


Persidangan-persidangan pengadilan pada masa Abbasiyah dilaksanakan di suatu majelis yang luas, yang memenuhi syarat kesehatan dan dibangun di tengah-tengah kota, dengan menentukan pula hari-hari yang dipergunakan untuk persidangan memeriksa perkara. Para hakim tidak dibenarkan memutuskan perkara di tempat-tempat yang lain. Dan dalam waktu yang sama diadakan beberapa perbaikan, seperti menghimpun putusan-putusan secara teliti dan sempurna. Bagi para qadhi atau ulama’ memiliki pakaian husus dalam melaksanakan persidangan, hal ini mulai terjadi pada masa khalifah Harun al-Rasyid, dengan maksud untuk membedakan mereka dengan rakyat umum. Dalam pelaksanaannya para qadhi mempunyai beberapa orang pembantu atau pengawal khusus yang mengatur waktu berkunjung dan waktu pengajuan perkara dan meneliti dakwaan-dakwaan mereka

d. Tugas Hakim


- Memberi penyelesaian terhadap suatu perkara yang diajukan ke mahkamah.
- Melimpahkan hak kepada pihak yang dinyatakan benar dalam persidangan dengan keputusan qadhi.
- Menetapkan perwalian bagi yang berada di bawah pengampuan.
- Mengkoordinir serta mengurus semua yang berhubungan dengan harta wakaf.
- Mentanfizkan wasiat bila yang berwasiat berhalangan.
- Menikahkan anak yatim serta orang yang dinyatakan tidak mempunyai wali.
- Menjatuhkan hukuman hudud bagiorang yang melanggar atau melakukan tindak pidana.
- Menangani masalah yang berhubungan dengan masyiarakat yang
- berkaitan dengan eradilan.
- Menetapkan saksi dalam persidangan yang diselenggarakan diperadilan yang berada di bawah kekuasaannya.

2. SEJARAHPERADILAN ISLAM PADA MASA USMANIYAH


A. Sekilas Sejarah Turki Usmani


Nama kerajaan turki utsmani diambil dan dinisbatkan kepada nenek moyang mereka yang pertama, sultan usman bin sauji bin orthogol bin sulaiman syah bin kia Alp.[10] garis keturunan bani utsmani bersambung dengan kabilah turmaniyah yang mendiami daerah kurdistan. Suku turki adalah bangsa yang hidup secara nomaden. Ekses dar agresi bangsa mongol yang dipimpin jengis khan ke irak dan asia kecil, kakek dari usman, sulaiman, hijrah bersama kabilahnya. Mereka bermigrasi sampai pesisir laut tengah di Antolia. Mereka hidup berdampingan dengan bangsa arab muslim yang mendiami daerah selatan anatolia. Interaksi yang harmonis terjalin diantara mereka, sehingga lambat aun mereka pun mulai memeluk agama islam.

Dibawah komando Orthogol, suku turki yang mendiami antolia, lebih kurang 400 keluarga, mengabdi dan bersekutu dengan pasukan saljuk Rum, Mereka membantu sultan alaudin III yang sedang berperang melawan Byzantium. Alaudin II mampu mengalahkan Byzantium atas bantuan orthogol dan pasukannya. Sultan pun memberinya hadiah berupa sebidang tanah yang berbatasan dengan Byzantium. Suku turki terus membina wilayah barunya dan memilih kota syukud sebagai ibukota. Mereka juga diberikan wewenang untuk menaklukkan wilayah-wilayah yang berada dibawah kekuasaan Byzantium.

Pada 699 H/ 1299 M Orthogol meninggal dunia. Kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya, usman inilah yang dianggap sebagai cikal bakal dari berdirinya kerajaan turki usmani. Jasanya kepada saljuk rum begitu besar dengan menguasai benteng-benteng Byzantium.

Pada 1300 M sultan Alaudin II terbunuh oleh tentara mongol yang menyerang saljuk rum. Kerajaan saljuk terpecah menjadi kerajaan kecil-kecil. Usman pun mendeklarasikan dirinya sebagai sultan yang berdaulat penuh. Dengan dukungan militer yang kuat menjadi benteng bagi kerajaan-kerajaan kecil dari agresi bangsa mongol. Secara tidak langsung mereka mengakui atas kedaulatan sebagai penguasa tertinggi.

Dalam perkembangan selanjutnya turki usmani melewati beberapa periode kepemimpinan. Tidak kurang dari 37 sultan yang memimpin sejak pertama berdiri tahun 1299 M hingga 1922 M (623 tahun). Bahkan kekuasaan terbentang luas, meluputi daratan eropa, mesir, afrika utara, asia hingga persia, lautan hindia hingga laut hitam. Tiga benua menjadi daerah kekuasaan kerajaan usmani.

B. Peradilan Turki Usmani


Kerjaan turki usmani pada masa awal kekuasaannya tidak menganut salah satu azhab. Pada fase berikutnya penguasa usmani mengundang mazhab hanafi sebagai mazhab resmi dalam fatwa dan peradilan.

Perkembangan hukum islam pada masa dinasti usmani, sejak sultan I Bin Ortoghol (1299 M) hingga meninggalnya salim I bin bayazid II (1520 M), belum terkodofikasi dan tersistemasikan dengan sempurna, oleh sebab itulah pemerintahan usmani, pada masa sultan sulaiman 1 bin salim (1520 M), berupaya unuk melakukan terobosan dalam bidang hukum, yaitu dengan mengkodifikasikannya.

Metode yang digunakan dalam upaya menkodifikasikan hukum dilakukan secara bertahap, yaitu :
1. Menetapkan mazhab resmi bagi negara.
2. Penyusunan satu pendapat mazhab
3. Mengkomplikasikan hukum islam dari mazhab yang berbeda
4. Mengadopsi perundang-undangan modern

Pembabakan peradilan pada peradilan turki usmani dibagi menjadi 3 :

a. Sebelum Tanzimat


Kerajaan turki usmani dipimpin oleh seorang sultan yang mempunyai kekuasaan temporer atau duniawi dan kekuasaan spiritual. Selaku penguasa duniawi digunakan gelar sultan dan sebagai kepala rohani umat islam digunakan gelar khalifah. Dengan demikian raja-raja usmani memiliki dua bentuk kekuasaan, kekuasaan memerintah negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela agama islam.

Dalam melaksanakan kedua kekuasaan itu sultan dibantu oleh dua pegawai tinggi, sadrazam untuk urusan pemerintahan dan Syaikh Al-islam untuk urusan keagamaan.[11]

Syaikh al-islam yang mengurusi bidang keagamaan dibantu oleh Qadhi askar Al-Rumali yang membawahi Qadhi-qadhi usmaniyah bagian eropa. Qadhi askar anduly membawahi qadhi-qadhi usmaniyah bagian asia dan mesir.[12]

Adapun bentuk-bentuk peradilan pada masa ini antara lain:
1. Al-juz’iyat (mahkamah biasa / rendah) untuk perkara-perkara pidana dan perdata
2. Mahkamah al-isti’naf (mahkamah banding) untuk meneliti dan mengkaji perkara yang berlaku
3. Mahkamah al-tamyiz/ al-naq wa al-ibram (mahkamah tinggi) untuk memecat para qadhi yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapka hukum
4. Mahkamah al-isti’naf al-ulya (mahkamah agung) langsung dibawah pengawasan sultan.

b. Masa Tanzimat


Lantar belakang munculnya tanzimat antara lain:
1. Eropa mendesak kerajaan turki usmani untuk mengayomi kaum dzimmi yang berada dibawah kekuasaan usmani
2. Pemberlakuan hukum fiqih bagi orang eropa yang berada diwilayah usmani dengan hukuman mati jika ia mrtad
3. Munculnya tokoh-tokoh tanzimat yang berupaya membatasi kekuasaan sultan yang abslut.

Disamping itu kondusi masyarakatterdiri atas 3 kelompok
1. Tradisional, memepertahankan dan membangun pemikiran atas dasar fiqih dan berpijak pada madzhab yang ada
2. Modrnisme, menawarkan agar fiqih perlu diseleksi dan dikembangkan sesuai dengan sosial budaya masyarakat
3. Reformis melontarkan gagasan bahwa fiqih yang ada tidak mampu merespon berbagai perkembangan yang muncul sebagai akses perkembangan zaman dan kebutuhan manusia yang multi dimensi.

c. Pasca Tabzimat


Pada akhir periode turki usmani persoalan peradilan yang semakin banyak dan pelik. Sumber hukum yang dipegangkan pun tidak hanya terbatas pada syari’at islam, tetapi diambil dari hukum barat/eropa. Hal ini diakibatkan adanya penetrasi eropa terhadap dunia islam yang diwakili oleh kerajaan usmani, sehingga muncul lembaga peradilan yang sumber hukumnya saling berbeda-beda, yaitu;
1. Mahkamah al-thawaif / qadha al-milli, peradilan untuk suatu kelompok agama
2. Qadha al-qanshuli, peradilan untuk warga negara asing dengan sumber undang orang asing tersebut.
3. Qadha mahkamah pidana, bersumber dari perundang-undangan eropa
4. Qadha mahkamah al-huquq mengadili perkara perdata,
5. Majelis al-syar’i al-syarif, mengadili perkara umat islam khusus masalah keluarga.

BAB III

PENUTUP


A. KESIMPULAN


Beberapa kebijakan Khalifah Dinasti Abbasiyah dalam bidang peradilan, antara lain, adalah:
1. Lembaga Qadiy al-Qudat (Mahkamah Agung)
2. Wilayah Hisbah
3. Wilayah Al-Mazalim (penyelewengan dan penganiayaan)
4. Al-Nidham Al-Madhalim
5. Badan Arbitrase
6. Hakim

Adapun peradilan pada masa usmaniyah diantaranya:
1. Al-juz’iyat (mahkamah biasa / rendah) untuk perkara-perkara pidana dan perdata
2. Mahkamah al-isti’naf (mahkamah banding) untuk meneliti dan mengkaji perkara yang berlaku
3. Mahkamah al-tamyiz/ al-naq wa al-ibram (mahkamah tinggi) untuk memecat para qadhi yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapka hukum
4. Mahkamah al-isti’naf al-ulya (mahkamah agung) langsung dibawah pengawasan sultan.

 

B. SARAN


Demikian makalah sederhana ini kami susun. Terima kasih atas antusiasme dari pembaca yang sudi menelaah isi makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, maka kami berharap kiranya memeberikan kritik dan saran demi sempurnanya makalah ini, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA


Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000).
Koto, Alaiddin, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012).
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan (Bandung: Remaja Rosda karya, 2007).
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/09/18/majncx-abu-yusuf-hakim-agung-di-era-abbasiyah-2 diakses 22-10-2014.
Ma’luf, Louis, Munjid fi al-Lughah wa al-Ilm (Beirut: alMaktabah al-Syarqiyah, 1986).
al-Farakhi , Abu Ya’la Muhammad Ibn al-Husein, Al-Ahkam al-Sulthaniyah (Mesir: Dar al-Fikr, TT).
Schacht, Joeseph, An Introduction, to Islamic law, T.tp, Clarendon Press, 1964.
Hassan, Hassan Ibrahim, Tarikh al-Daulah al-Fathimiyah (Kairo: Al-Maktabah al-Mukhashshah alMishriyah, 1993).
as-Shiddiqie, Muhammad Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001).
Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), cet 1.
Nasution, Harun, pembaharuan dalam islam sejarah pemikiran dan gerakan, (jakarta:Bulan Bintang, 1996) cet 11,


[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm 49-50.
[2] Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012), hlm 92-93.
[3] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan (Bandung: Remaja Rosda karya, 2007), hlm. 56.
[4] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/09/18/majncx-abu-yusuf-hakim-agung-di-era-abbasiyah-2 diakses 22-10-2014.
[5] Louis Ma’luf, Munjid fi al-Lughah wa al-Ilm (Beirut: alMaktabah al-Syarqiyah, 1986), hal. 282.
[6] Abu Ya’la Muhammad Ibn al-Husein al-Farakhi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah (Mesir: Dar al-Fikr, TT), hal. 320.
[7] Joeseph Schacht, An Introduction, to Islamic law, Clarendon Press, 1964, hal. 52.
[8] Hassan Ibrahim Hassan, Tarikh al-Daulah al-Fathimiyah (Kairo: Al-Maktabah al-Mukhashshah alMishriyah, 1993), hal. 363.
[9] Teuku Muhammad Hasbi as-Shiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 22-26.
[10] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), cet 1, hlm 248.
[11] Harun nasution, pembaharuan dalam islam sejarah pemikiran dan gerakan, (jakarta:Bulan Bintang, 1996) cet 11, hlm. 92.
[12] Alaiddin koto, Op cit, hlm 150.


EmoticonEmoticon