Minggu, 20 September 2015

Hukum Menghajikan Orang Lain

 
MAKALAH

Hukum Menghajikan Orang Lain

Hukum Menghajikan Orang Lain
Berdo'a dengan khusu' saat haji


Makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits

Oleh dosen penggapu :Maya Dina Rahma Musfiroh M,A


DI tulis oleh;

1) Achmad Miftachul Alim
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (UNISNU)JEPARA 
TAHUN AJARAN 2012
 
 
 
 
BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah


Haji merupakan rukun islam yang ke 5 ( lima ). Ibadah haji merupakan ibadah yang sudah lama di syari’atkan. Jauh sebelum lahir Nabi Muhammad SAW. Dari ayat suci al – Qur’an, hadits nabi dan sirah rasulullah kita dapat mengetahui bahwa kaum – kaum terdahulu juga melaksanakana ibadah haji.



salah satu ayat tentang haji juga menunjukkan, yaitu ketika turun ayat mengenai sa’i allah berfirman :

“ Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha mengetahui “.



B. Rumusan Masalah

1. Mengapa haji hanya wajib dilakukan sekali dalam seumur hidup?

2. Apa saja macam – macam haji ?

3. Bagaimana hukum menghajikan orang lain ?



C. Tujuan Penulisan

Agar kita semua tahu,haji itu wajib dilakukan sekali dalam seumur hidup,dan apa macam macam haji,dan bagaimana hukumnya menghajikan orang lain, kaitannya dengan ibadah haji.adapun pembahasan lebih lanjut akan kami jelaskan dalam makalah kami. Mulai dari alas an kenapa ibadah haji yang paling wajib hanya di lakukan satu kali saja, hokum – hukumnya dan serta macam – macamnya.



BAB II
PEMBAHASAN



A. Wajib Haji Hanya Satu Kali.


Haji adalah merupakan rukun islam yang ke 5 ( lima ). Ibadah haji merupakan ibadah yang sudah lama di syari’atkan. Jauh sebelum lahir Nabi Muhammad SAW. Dari ayat suci al – Qur’an, hadits nabi dan sirah rasulullah kita dapat mengetahui bahwa kaum – kaum terdahulu juga melaksanakana ibadah haji.

Bagi orang yang diberi kelebihan harta , kebanyakan mereka ingin melakukan ibadah haji berukangkali . demikian pula sebagian orang yang kaya berangkat umroh. Hampir setiap tahun munhkin mereka berada di makkah.

Haji dan umroh keduanya adalah ibadah yang dilakukan satu kali seumur hidup , sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadits . Rasulallah sendiri melaksanakan haji Cuma sekali yang dikenal dngan haji wada’.

Ada sebuah hadits dimana sanadnya tidak diketahui tetapi para sahabat menjadikan acuan hadits itu kalu wajib haji cma satu kali.

“ibadah haji wajib dilakukan satu kali seumur hidupdan apabila seseorang melakukanya lebih dari satu kali maka hal itu merupakan sunnah”.walaupun demikian banyak juga diantara kaum muslimin yang berkeinginan sesering mungkin datang ketanah suci. Sebagian dari mereka beralasan karena rindu kepada ka’bah. Sebagian lagi beralasan ingin mendulang pahala yang banyak, mengingat pahala salat di masjidil haram adalah 10 ribu kali lipat dari shalat di tempat biasa, , demikin pula shalat di masjid nabawi yaitu dengan seribu kali lipat dari shalat di tempat lain.

“ diriwayat,kan dari abu hurairah Ra , ia berkata: Rasulallah SAW, pernah berkhutbah di hadapan kami beliau mengatakan: “saudara-saudara”! sungguh Allah telah mewajibkan haji kepada kalian karena itu berhajilah !” ada seorang yang bertanya, ,apakah setiap tahun ya, rasulallah ?” , rasulallah diam , sehingga orang tersebut menanyakan hingga tiga kali , setelah itu rasul bersabda. “ seandainya aku jawab”Ya” maka tentu haji itu wajib setiap tahun , lalu kalian tidak mampu untuk melaksanakanya “. Sabda beliau selanjutnya ‘ janganlah engkau tanyakan apa yang tidak aku sebutkan , karena celakanya orang-orang sebelum kamu dulu adalah karena mereka banyak bertanya dan mereka tidak mematuhi nabi mereka , apabila aku perintahkan sesuatu kepada kamu maka laksanakanlah menurut kemampuanmu dan apabila aku melarang sesuatu terhadapmu maka tinggalkanlah.[1]



B. Macam-MacamHaji
Berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih dari Nabi shallallah ‘alahi wa sallam, ada tiga jenis haji yang bisa diamalkan. Masing-masingnya mempunyai nama dan sifat (tatacara) yang berbeda. Tiga jenis haji tersebut adalah sebagai berikut

1. Haji Tamattu’


Haji Tamattu’ adalah berihram untuk menunaikan umrah di bulan-bulan haji (Syawwal, Dzul Qa’dah, 10 hari pertama dari Dzul Hijjah), dan diselesaikan umrahnya (bertahallul) pada waktu-waktu tersebut1. Kemudian pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzul Hijjah) berihram kembali dari Makkah untuk menunaikan hajinya hingga sempurna. Bagi yang berhaji Tamattu’, wajib baginya menyembelih hewan kurban (seekor kambing/sepertujuh dari sapi/sepertujuh dari unta) pada tanggal 10 Dzul Hijjah atau di hari-hari tasyriq (tanggal 11,12,13 Dzul Hijjah). Bila tidak mampu menyembelih, maka wajib berpuasa 10 hari; 3 hari di waktu haji (boleh dilakukan di hari tasyriq2. Namun yang lebih utama dilakukan sebelum tanggal 9 Dzul Hijjah/hari Arafah) dan 7 hari setelah pulang ke kampung halamannya.

2. Haji Qiran


Haji Qiran adalah berihram untuk menunaikan umrah dan haji sekaligus, dan menetapkan diri dalam keadaan berihram (tidak bertahallul) hingga hari nahr (tanggal 10 Dzul Hijjah). Atau berihram untuk umrah, dan sebelum memulai thawaf umrahnya dia masukkan niat haji padanya (untuk dikerjakan sekaligus bersama umrahnya). Kemudian melakukan thawaf qudum (thawaf di awal kedatangan di Makkah), lalu shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim. Setelah itu bersa’i di antara Shafa dan Marwah untuk umrah dan hajinya sekaligus dengan satu sa’i (tanpa bertahallul), kemudian masih dalam kondisi berihram hingga datang masa tahallulnya di hari nahr (tanggal 10 Dzul Hijjah).

Boleh pula baginya untuk mengakhirkan sa’i dari thawaf qudumnya yang nantinya akan dikerjakan setelah thawaf haji (ifadhah). Terlebih bila kedatangannya di Makkah agak terlambat dan khawatir tidak bisa tuntas mengerjakan hajinya bila disibukkan dengan sa’i.

Untuk haji Qiran ini, wajib menyembelih hewan kurban (seekor kambing, sepertujuh dari sapi, atau sepertujuh dari unta) pada tanggal 10 Dzul Hijjah atau di hari-hari tasyriq (tanggal 11, 12, 13 Dzul Hijjah). Bila tidak mampu menyembelih, maka wajib berpuasa 10 hari; 3 hari di waktu haji (boleh dilakukan di hari tasyriq, namun yang lebih utama dilakukan sebelum tanggal 9 Dzul Hijjah/hari Arafah) dan 7 hari setelah pulang ke kampung halamannya



3. Haji Ifrad


Haji Ifrad adalah melakukan ihram untuk berhaji saja (tanpa umrah) di bulan-bulan haji. Setiba di Makkah, melakukan thawaf qudum (thawaf di awal kedatangan di Makkah), kemudian shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim. Setelah itu bersa’i di antara Shafa dan Marwah untuk hajinya tersebut (tanpa bertahallul), kemudian menetapkan diri dalam kondisi berihram hingga datang masa tahallulnya di hari nahr (tanggal 10 Dzul Hijjah). Boleh pula baginya untuk mengakhirkan sa’i dari thawaf qudumnya, dan dikerjakan setelah thawaf hajinya (ifadhah). Terlebih ketika kedatangannya di Makkah agak terlambat dan khawatir tidak bisa tuntas mengerjakan hajinya bila disibukkan dengan kegiatan sa’i, sebagaimana haji Qiran.

Untuk haji Ifrad ini, tidak ada kewajiban menyembelih hewan kurban. (Disarikan dari Dalilul Haajji wal Mu’tamir, terbitan Departemen Agama Saudi Arabia hal. 15,16, & 19, dan www.attasmeem.com, Manasik Al-Hajj wal ‘Umrah, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin)



C.MENGHAJIKAN ORANG LAIN SEBELUM DIRI SENDIRI.


Ada sebuah hadits yang menerangkan tentang hukum orang yang menghajikan orang lain tetapi dirinya belum melakukan haji sendiri .

“dari Ibnu abbas .ra. bahwasanya Nabi mendengar seorang laki-laki yang mengucapkan :” labaika” An syubrumah “, beliau bertanya: siapakah syubrumah itu ?: laki-laki itu menjawab :saudara saya, lalu beliau bertanya kepadanya: apakah engkau sudah melaksanakan haji untuk diri engkau , dia menjawab: tidak/ belum beliau bersabda : tunaikan haji untuk dirimu dahulu , barulah kemudian hajikan syubana, , (Hrabu daud dan ibnu majah seta dianggap shohih oleh ibnu hiban yang kuat menurut ahmad, )[2] hadits ini mauquf putus sanadnya hingga sampai pada sahabat saja.

Ada hadits lain yang juga membicarakan tentang hokum mernghajikan orang lain.

Artinya : “dari ibnu abbas r.a dia berkata : pernah al fadlu bin abbas r.a duduk di belakang nabi SAW. Lalu datanglah seorang wanita dari khats’ama. Mulailah al fadlu memandang kepalanya dan wanita itu memandang kepalanya. Lalu Nabi SAW memalingkan muka al fadlu kearah lain. Lalu wanita itu berkata : ya rasulullah sesunggughnya kewajiban ibadah haji dari allah itu, atas semua hambaNya. Sedangkan saya mendapatkan masa hidup ayahku dalam keadaan sudah tua bangka, tidak kuat lagi naik kendaraa.

Apakah boleh saya hajikan dia ? beliau menjawab : ya. Dan peristiwa itu pada waktu haji wada’ .

Dalam hadits tersebut terkandung dalil yang menunjukkan sah orang yang sudah mukallaf apabila rang itu sudah tidak mampu menunaikan haji sendiri, seperti orang yang sudah tua, karena orang yang sudah tua itu tidak bisa diharapkan untuk kuat lagi. Apabila ketidak maupuan itu karena sakit atau gila yang masih ada harapan sembuh, maka tidak menghajikannya sah.



BAB III
PENUTUP



A. Kesimpulan


Dalam benak dan hati kecil setiap muslim pasti terlintas dan terpaut keinginan untuk pergi menunaikan ibadah haji. Bagi seorang muslim, haji seakan – akan adalah puncak ibadah. Ketika sesorang sudah melakukan zakat, dan kewajiban lainnya, rasanya belum genap seluruh ibadah tersebut bila tidak di ahiri dengan ibadah haji.

Kadang – kadang juga muncul pertanyaan dikalangan jama’ah haji, yaitu makna dan arti apa yang terkandung di balik nilai keagungan dan amaliyah haji?

Insyaallah makalah kami mampu menjawab semua pertanyaan itu meskipun tidak begitu sempurna, karena kesempurnaan hanya milik allah. Untuk itu kritikan dan saran dari teman – teman sangat kami butuhkan untuk kebaikan makalah kami kedepan.

















BAGIAN PERTANYAAN


Pertanyaan pertama : oleh saudara Ahmad Saiful Huda “ Bagai mana hukumnya menghajikan orang yang telah meninggal dunia?”.

Jawab : “Hukumnya boleh, dengan ketentuan orang yang akan mewakili sudah melakukan ibadah haji terlebih dahulu”

Pertanyaan ke-2 oleh saudari saidah: ”bolehkan mewakilkan haji kepada orang lain yang telah melaksanakan ibadah haji sebelumnya, dengan ketentuan mewakilkan ibadah haji lebih dari satu orang?”

Jawab:”Kalu mewakilkan ibadah haji kepada orang lain hukumnya boleh dengan ketentuan ketika orang itu semisal sedang sakit atau memeng berhalangan dan apabila ada suatu keharusan yang tidak bias melaksanakan ibadah haji maka boleh mewakilkannya, sedangkan oaring yang akn mewakili ibadah haji orang lain tidak bias mewakili lebih dari satu orang”

Pertanyaan ke-3 oleh Saudari Ahmad Firman :”kenapa ada suatu keharusan bagi masyarakat Indonesia ketika ada orang yang melaksanakan ibadah haji, setelah pulang kemudian mendapatkan kelar haji, bagaiman hukumnya pemberian gelar haji?”

Jawab :”memang ada semacam budaya dari bangsa kita, ketika ada orang yang melaksanakan ibadah haji kemudian setelah pulang kemudian orang-orang memanggilnya dengan tambahan gelar haji maupun hajah bagi perempuan, adapun pemberian gelar kepada orang yang melaksanakan ibadah haji tidak lain adalah untuk memberiakan penghormatan serta menghargai dari perjuanganya sewaktu melaksanakan ibadah haji yang membutuhkan perjuangan besar”.



DAFTAR PUSTAKA



Muhammad, abu bakar, Drs., terjemahan subulus salam, AL – IHLAS, Surabaya, 1991.
Sahih Muslim, Imam Alghazali, hlm; 356




[1] Sahih Muslim, Imam Alghazali, hlm; 356
[2] Subulus salam. Abu bakar muhammad , hlm 721.


EmoticonEmoticon