Minggu, 02 Oktober 2016

ISLAM SEBAGAI OBJEK STUDI

ISLAM SEBAGAI OBJEK STUDI; 

 
ISLAM SEBAGAI OBJEK STUDI

Pengantar Kuliah Metodologi Studi Islam[1]

N. Kholis, M.S.I.



A. Pendahuluan

Islam itu “subjek” atau “objek”? Pertanyaan tersebut terkesan sederhana namun rumit jika diuraikan, lebih-lebih jika dalam kajian akademik. Secara sederhana, Islam sebagai subjek mengandaikan semua norma di dalamnya “mendikte” kehidupan manusia tanpa reserve. Sementara Islam sebagai objek menjadikannya sebagai “yang terdikte” oleh kehidupan manusia. Perdebatan inilah yang kemudian mendasari bentuk pendekatan yang saling berhadap-hadapan, yaitu pendekatan normatif (doktrinal-teologis) dan pendekatan historis (multi/interdisipliner).[2]

Muhammad Arkoun memandang Islam terbagi ke dalam dua ruang lingkup pemikiran; “yang tak terpikirkan” (the unthinkable) dan “yang terpikirkan” (the thinkable). Kedua konsep tersebut pada mulanya merupakan sesuatu yang historis, bukan filosofis. Domain perspektif dari masing-masing berubah melalui sejarah dan relasi antarkelompok sosial. Sebelum konsep sunnah dan ushul menjadi sistematis digunakan oleh al-Syafii, beberapa aspek pemikiran Islam masih mungkin “terpikirkan”. Aspek-aspek tersebut menjadi “tak terpikirkan” setelah keberasilan teori al-Syafii dan juga elaborasi tentang “koleksi” autentik tentang sumber ajaran Islam (al-Qur’an, hadis, ijma’, qiyash). Demikan pula, problem-problem yang terkait dengan proses historis pengumpulan al-Qur’an dalam sebuah mushaf yang resmi menjadi lebih “tak terpikirkan” di bawah tekanan resmi khalifah Islam karena al-Qur’an sudah digunakan sejak permulaan Islam untuk melegitimasi kekuasaan politik dan demi menyatukan umat.[3]

Dinamika kajian Islam terbentuk (dan terbelah) oleh dialektika antara wahyu dan rasio. Perjumpaan keduanya mendorong berkembangnya tradisi pemikiran dalam studi Islam. Sejarah pemikiran Islam secara umum kemudian diwarnai oleh dua kelompok aliran besar. Kelompok pertama dikenal dengan ahl al-hadis (mereka yang mengedepankan hadis Nabi dalam memahami al-Qur’an), sedangkan kelompok kedua dikenal dengan ahl al-ra’y (mereka yang mengedepankan rasio sebagai “panglima” dalam memahami al-Qur’an). Kelompok pertama tidak memberikan peluang adanya intervensi akal/ rasio dalam memahami otoritas wahyu, sedangkan kelompok kedua mendukungnya. Begitu pula dalam menyikapi perkembangan jaman. Kelompok ahl al-hadis cenderung lebih mempertahankan idealitas wahyu tanpa memberikan accomodatif thinking; bahwa makna yang tersurat dalam teks suci adalah final, sakral, permanen dan tidak dapat diubah. Sedangkan kelompok ahl al-ra’y bersikap negosiatif antara dasar agama (teks) dan keadaan (konteks).[4]

Oleh karena itu, ketika seseorang mengkaji Islam, pertama hal yang harus diketahui adalah bagaimana atau di mana Islam itu didudukkan dalam kajiannya. Sebab, selain Islam bersifat transendental, dirinya juga mempunyai sisi yang bersifat manusiawi dan historis. Dengan mengetahui hal ini, setidaknya pengkaji bisa mengetahui pada sisi-sisi mana yang akan menjadi objek kajiannya dari Islam. Setelah objek kajian jelas, maka hal yang perlu diketahui kemudian ialah bagaimana “cara” mendekati objek tersebut. Pada sisi pemilihan dan pemakaian cara ini nantinya akan memengaruhi atau bahkan menentukan corak hasil kajian. Ia bersikap objektif ataukah ideologis, rasional ataukah emosional. Ia memasukkan motif tertentu atau tidak, dan seterusnya.

Pada makalah “pembuka” perkuliahan ini, beberapa pendekatan studi diperbincangkan bukan untuk menjawab “bagaimana melakukannya”, apalagi masing-masing dikonfrontasikan untuk menentukan pendekatan mana yang “terbaik”. Akan tetapi, kajian lebih diarahkan pada “apa” yang dapat diterapkan dalam kaitannya dengan studi Islam. Tentu saja, Islam di sini telah diposisikan sebagai “objek studi”, bukan sebagai “subjek studi”.


B. Studi Islam; Studi Agama atau Studi Keagamaan?


Islam sebagai objek studi dan penelitian sudah lama diperdebatkan. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Islam, karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalaupun dapat dilakukan harus menggunakan metode khusus yang berbeda dari metode ilmu sosial. Pendapat ini juga beralasan bahwa agama merupakan sesuatu yang transenden. Agamawan cenderung berkeyakinan bahwa Islam memiliki kebenaran mutlak sehingga tidak perlu diteliti.[5]

Menurut Harun Nasution,[6] agama mengandung dua tahapan ajaran pokok. Tahapan pertama, ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui para rasulnya kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran yang terdapat dalam kitab suci tersebut memerlukan penjelasan tentang arti dan cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan para pemuka atau pakar agama kemudian membentuk ajaran agama pada tahapan kedua. Ajaran dasar agama merupakan wahyu Tuhan, bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Sedangkan penjelasan ahli agama terhadap ajaran dasar agama merupakan penjelasan dan hasil pemikiran, dan oleh karenanya ia tidak absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Bentuk ajaran agama yang kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan jaman.

Dengan demikian, para ilmuwan kemudian beranggapan bahwa agama juga merupakan objek kajian atau penelitian, karena agama merupakan bagian dari kehidupan sosio-kultural. Sehingga, penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan memperoleh pengaruh dari agama. Dengan kata lain, penelitian agama bukan meneliti kebenaran teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan realitas sosio-kultural tertentu. Dengan demikian pula, kedudukan studi dan penelitian agama adalah sejajar dengan penelitian-penelitian lain, karena yang membedakannya hanyalah objek kajian yang diteliti. Agama dalam pengertian yang kedua (yakni keberagamaan) dapat dijadikan sebagai objek penelitian tanpa harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode yang lain.

Selanjutnya, sebagaimana disimpulknan Atang Abd. Hakim, agama yang diturunkan dan terwujud dalam bentuk “pengetahuan dan pemikiran manusia” merupakan bagian dari budaya. Oleh karena itu, ia termasuk objek penelitian filsafat atau kebudayaan. Sedangkan agama yang diturunkan dan terwujud dalam bentuk “tindakan dan sikap manusia” merupakan produk interaksi sosial. Oleh karenanya, ia merupakan bagian dari ilmu sosial dan ilmu sejarah.[7]

Menurut Atho mudzhar,[8] bahwa sampai sekarang istilah penelitian agama dan penelitian keagamaan belum mendapatkan batasan yang tegas. Penggunaan yang pertama sering digunakan mencakup yang kedua, atau sebaliknya. Atas hal ini, Atho membedakan penelitian agama (research on religion) dengan penelitian keagamaan (religious research). Penelitian agama lebih mengutamakan pada materi agama, sehingga sasarannya terletak pada tiga elemen pokok, yaitu ritus, mitos dan magik. Sedangkan penelitian keagamaan lebih mengutamakan pada agama sebagai sistem keagamaan (religious system) yang tampak pada gejala-gejala dan interaksi sosial. Perbedaan antara penelitian agama dan penelitian keagamaan perlu disadari karena perbedaan tersebut membedakan jenis metode penelitian yang digunakan.

Sejalan dengan Atho Mudzhar, Juhaya S. Praja[9] membedakan antara penelitian agama dan penelitian hidup keagamaan. Baginya, penelitian agama adalah penelitian tentang asal-usul agama dan pemikiran serta pemahaman penganut ajaran tersebut terhadap ajaran yang terkandung di dalamnya, sehingga melahirkan ilmu tafsir, ilmu hadis, ushul fiqh, filsafat Islam, kalam, dan tasawuf. Sedangkan penelitian tentang hidup keagamaan adalah penelitian tentang praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual maupun kolektif.

C. Pengertian dan Perkembangan Studi Islam


Studi Islam atau di Barat dikenal dengan sistilah Islamic Studies, secara sederhana dapat dikatakan sebagai “usaha mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam.” Dengan perkataan lain, studi Islam adalah “usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik yang berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sepanjang sejarahnya.”[10]

Sejatinya, urgensi studi Islam adalah untuk menggali kembali ajaran-ajaran Islam yang asli dan murni, dan yang bersifat manusiawi dan universal, yang mempunyai daya untuk mewujudkan dirinya sebagai rahmatan li al-alamin. Dari situ kemudian ditransformasikan kepada generasi penerusnya agar mampu berhadapan dan beradaptasi dengannya.[11] Itu sebabnya, studi Islam selalu berkembang seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat sepanjang jaman.

Usaha mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri tentunya berbeda tujuan dan motivasinya dengan yang dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar. Sedangkan di luar kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk mempelajari seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku di kalangan umat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan (islamologi). Namun sebagaimana ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu pengetahuan tentang seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif maupun negatif.

Syafii Maarif[12] membagi babakan studi Islam dalam empat dimensi waktu; klasik, pra-modern, modern, neo-modern. Sedangkan babakan pasca–modern, menurutnya, belum banyak bisa dijelaskan karena terbatasnya karya-karya besar yang dilahirkan.

Studi Islam yang paling kaya adalah studi Islam klasik yang telah membuahkan karya-karya besar dalam filsafat, sastra, tasawuf, fiqh dan ushul fiqh, ilmu kalam, dan sejarah. Periode prodiktif ini berlangsung sekitar enam abad (abad 9-16 M). Secara intelektual, periode ini tidak sunyi dari polemik, benturan pendapat dan sengketa teologis. Bahkan, dalam periode ini telah tercipta suasana saling mengkafirkan.

Kemudian, antara abad ke-15 sampai dengan abad ke-17 adalah perode yang hampir kosong dari karya-karya kreatif dalam studi Islam. Periode ini ditandai dengan munculnya kekuatan Barat dalam politik, militer dan ilmu pengetahuan. Barat yang pernah dikuasai Islam pada abad-abad sebelumnya mulai menyusun kekuatan dan kemudian berhasil menguasai hampir seluruh dunia Islam yang sedang jatuh. Inilah masa pertengahan. Proses penghancuran ini baru berakhir pada pertengahan abad ke-20 dan melalui proses yang sangat melelahkan.

Di tengah-tengah maraknya imperialisme modern, pada abad ke-18 muncul dua tokoh muslim dengan pemikiran radikalnya. Kedua tokoh itu adalah Muhammad Ibn Abd Al-Wahab (1703-1792) dan Shah Wali Allah (1702-1762). Yang pertama bergerak di Arab dalam perjuangan memurnikan tauhid. Dengan keasadaran sejarah yang lemah, tokoh ini telah menghancurkan tempat-tempat bersejarah di Arab yang sangat berharga. Abd al-Wahab dalam dimensi tauhid mengikuti tokoh jaman klasik, Ibn Taymiyah (1263-1328), sekalipun yang terakhir ini memiliki visi keislaman yang lebih luas dari yang pertama.

Sementara Shah Wali Allah, menurut Maarif, muncul di India pada saat kekuasaan Islam di sana mulai dijajah Inggris. Berbeda dengan Abd al-Wahab, Shah Wali Allah mempunyai visi keislaman yang lebih komprehensif sebagaimana al-Ghazali (1058-1111) yang berusaha menyatukan sufisme dan syariah. Dalam peta pemikiran Islam, Abd al-Wahab dan Shah Wali Allah biasa dikategorikan sebagai wakil dari periode pra-modern.

Periode modern dalam kajian Islam ditandai oleh munculnya Sayyid Ahmad Khan (1817-1897), Jamal al-Din al-Afghani (1897-1939), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Muhammad Iqbal (1877-1938).

Selanjutnya, studi Islam semakin menemukan variannya setelah bersentuhan dengan beragamnya pendekatan kajian, terutama melalui pendekatan multi/interdisipliner di Barat pada abad ke-19 oleh para orientalis. Akan tetapi, sebagaimana dikutip Ahwan Fanani, Bernard Lewis menilai studi tentang Timur Tengah miskin perspektif. Lewis mencatat dua dorongan orang Barat untuk mengkaji Islam. Pertama, belajar lebih banyak warisan klasik yang terpelihara dalam terjemahan dan komentar berbahasa Arab. Kedua, menyokong polemik orang terpelajar Kristen melawan Islam.

Seiring dengan munculnya renaissans, muncullah alasan-alasan baru dalam studi Islam. Pertama, adanya rasa ingin tahu tentang budaya-budaya asing, khusunya fililogi klasik yang menjadi paradigma untuk memahami budaya lain. Kedua, adanya kepentingan ekonomi dan politik orang Eropa yang meningkatkan volume perjalanan ke dunia Timur. Ketiga, lahirnya studi Alkitab dan Semitis dengan menjadikan studi bahasa dan teks-teks Arab sebagi alat yang bermanfaat.[13]

Untuk menggambarkan adanya prasangka agama dan politik dalam studi keislaman oleh Barat, Edward W. Said berpendapat bahwa studi ketimuran (Islam) yang mereka lakukan merupakan disiplin keilmuan yang secara material dan intelektual berkaitan dengan ambisi politik dan ekonomi Eropa. Orientalisme telah menghasilkan gaya pemikiran yang dilandaskan pada distingsi teologis dan epistemologis antara Timur dan Barat. dalam waktu yang panjang, orientalisme Barat telah mengembangkan cara-cara pembahasan tentang Timur dengan memapankan superioritas Barat atas budaya asing. Media Barat juga sering memproyeksikan dunia Arab, yang kebanyakan penduduknya Muslim, sebagai manusia terbelakang, irasional, dan penuh nafsu birahi.[14] Pendapat Said ini menuai kritik Barat karena dianggap melakukan interpretasi yang bersifat etnosentris dan terkesan dipolitisir yang melebihi target kritiknya sendiri.

Terlepas dari polemik orientalisme Said, seiring pesatnya perkembangan studi Islam ini, diharapkan para sejarawan, ahli ilmu-ilmu sosial, dan agamawan agar saling memanfaatkan satu sama lain untuk mendapatkan validitas kajian yang memadai. Studi multi disiplin perlu difokuskan pada materi, adaptasi kreatif, dan penerapan metode pada masing-masing bidang tertentu dalam data agama. Kurangnya pengetahuan akan bahasa, sejarah, dan sejarah kebudayaan Islam yang dikaji akan membawa peneliti pada suatu permainan analisis dengan sejumlah data yang dangkal. Sehingga, metode penelitian harus selalu diperbaiki dan disesuaikan dengan data yang ada.[15]

D. Metodologi; Antara Metode dan Pendekatan


Studi Islam, sebagaimana studi yang lain pada umumnya, tidak jarang tersandung persoalan pemahaman mengenai “cara” yang dipakai. Tumpang tindihnya pemaknaan dan penggunaan istilah metodologi, metode, dan pendekatan tampak mewarnai studi ini. Akibatnya, kerumitan kajian harus ditambah dengan persoalan silang-sengkarutnya langkah-langkah studi.

Metodologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani meta, hetodos, dan logos. Meta berarati “menuju, melalui, mengikuti”, sedangkan hetodos berarti “jalan” atau “cara”. Maka, kata methodos (metode) berarti jalan yang harus dilalui untuk mencapai sesuatu. Metode merupakan langkah-langkah praktis dan sistematis yang ada dalam ilmu-ilmu tertentu yang sudah tidak dipertanyakan lagi karena sudah aplikatif. Metode dalam suatu ilmu dianggap sudah bisa mengantarkan seseorang mencapai kebenaran dalam ilmu tersebut. Oleh karena itu, ia sudah tidak diperdebatkan lagi karena sudah disepakati oleh komunitas ilmuwan dalam bidang ilmu tersebut.

Ketika metode digabungkan dengan kata logos maka maknanya akan berubah. Logos berarti “studi tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu, metodologi tidak lagi sekadar kumpulan cara yang sudah diterima (well recieved), akan tetapi berupa kajian tentang metode. Dalam metodologi dibicarakan kajian tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Pendek kata, bila dalam metode tidak ada perdebatan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan. Sebaliknya, dalam metodologi terbuka luas untuk mengkaji, mendebat, dan merefleksikan cara kerja suatu ilmu. Itulah makanya, metodologi menjadi bagian dari sistematika filsafat, sedangkan metode tidak.[16]

Adapun antara metode dan pendekatan (approach), perbedaan keduanya memang sangat tipis. Metode merupakan cara mengerjakan sesuatu (a way of doing something). Sementara pendekatan adalah cara memperlakukan sesuatu (a way of dealing with something). Perbedaan pada keduanya hanya terletak pada perlakuan atas objek. Metode cenderung menganggap objek sebagai entitas pasif, sedangkan pendekatan cenderung menganggapnya sebagai sesuatu yang aktif. Ketika seseorang ingin mengkaji Islam dan menganggapnya sebagai sebuah entitas yang aktif dan dinamis, maka sesungguhnya ia sedang melakukan pendekatan atas Islam. Namun, bila ia memperlakukan Islam sebagai objek yang statis, maka ia sedang menggunakan suatu metode terhadap Islam.[17]

Dengan demikian, istilah metodologi memiliki cakupan lebih luas karena kapasitasnya yang memuat pergerakan metode dan pendekatan sekaligus. Bahwa baik metode maupun pendekatan membutuhkan pemikiran yang matang untuk merancangnya, dan inilah yang menjadi ruang gerak metodologi. Sungguhpun demikian, khususnya dalam penggunaan istilah metodologi dan pendekatan, para ilmuwan kerapkali menganggapnya identik dengan penggunaan yang silih berganti untuk maksud yang sama. Sebagian ilmuwan ada yang menjadikan istilah metodologi untuk merancang model pendekatan yang dipilihnya, sementara sebagian yang lain mengangap pendekatanlah yang menuntun metodologi.

E. Ragam Metode dan Pendekatan dalam Metodologi Studi Islam


Sebagaimana disebutkan dalam perkembangannya, Studi Islam sudah terjadi sejak Islam itu sendiri datang di bumi. Sudah barang tentu awalnya dengan cara yang sangat sederhana. Seiring dengan perkembangan jumlah dan tingkat intelektualitas penduduk yang mengikuti agama Islam, maka cara melakukan studi Islam juga mengalami perkembangan yang beragam. Meskipun dengan tujuan yang sama, yakni mengamalkan ajaran Islam, namun cara atau pendekatannya juga berbeda pula. Apalagi jika tujuannya berbeda, seperti bagi mereka yang bertujuan “sekadar” untuk mempelajari semata.

Menurut Qodri Azizy,[18] pendekatan dalam studi Islam dapat dikelompokkan pada beberapa jenis, yaitu:

Pertama, ngaji. Pendekatan ini dimaksudkan semata-mata untuk menjalankan atau mempraktikkan ajaran Islam. Metodenya meliputi cara-cara yang sederhana dan tanpa melakukan kajian kritis. Apa yang disampaikan oleh guru ngaji (ustadz atau ulama) diterima apa adanya oleh murid yang sekaligus berusaha mengamalkannya. Peran pengajar besar sekali, karena hampir tidak pernah menerima kritik. Karena tujuannya demikian, maka yang melakukan studi Islam seperti ini bisa dipastikan beragama Islam yang memang ingin mempraktikkan ajaran Islam. Demikian pula, gurunya harus orang Islam yang bukan hanya menjadi pengajar tapi bahkan sekaligus sebagai suritauladan (role model).

Kedua, islamologi. Ini kebalikan dari yang pertama, karena menjadikan Islam sebagai pengetahuan, bukan ajaran yang diamalkan. Bahkan dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan untuk tujuan-tujuan yang negatif seperti yang pernah terjadi pada sejarah perkembangan awal orientalisme. Karena tujuannya demikian, maka baik yang belajar maupun yang mengajar tidak musti beragama Islam. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang anti terhadap Islam. Praktik studi semacam ini terjadi di negara-negara Barat, terutama sekali pada masa lalu sebelum era studi Islam secara akademik bermunculan.

Setelah studi Islam bermunculan secara akademik, yang tidak secara langsung mendiskreditkan Islam, hasilnya bisa bermanfaat bagi umat Islam sendiri terutama dalam perkembangan keilmuan Islam itu sendiri. Dalam kajian akademik ini, perkembangan berikutnya mereka melakukan studi Islam dengan beberapa pendekatan utama yang meliputi empat hal; (1) social sciences, (2) humanities, (3) divinity schools, dan (4) area studies. Artinya, orang dapat melakukan studi Islam di salah satu fakultas atau devisi dari keempat hal tersebut, dan dinobatkan sebagai islamicist (ahli Islam). Dari cara tersebut, di samping menyimpan keuntungan bagi Islam, tidak menutup kemungkinan dari mereka masih menyimpan bias masa lalu.

Ketiga, apologis. Ada masa sekaligus karakter di mana studi Islam dilakukan dalam rangka merespon model studi Islam nomor dua di atas (islamologi), terutama yang jelas-jelas mendiskreditkan Islam. Model ini banyak dilakukan oleh kelompom modernis, termasuk tidak sedikit yang berpendidikan Barat itu sendiri.

Keempat, islamization of knowledge. Pendekatan ini juga merupakan respon terhadap perkembangan keilmuan Barat. Ia bermaksud agar ilmu-ilmu sekuler dalam studi Islam mempunyai akar dan landasan tauhid. Respon ini lebih didasarkan pada kesadaran terhadap realitas keilmuan yang dianggap sekuler, bukan pada prasangka atas pendekatan sebelumnya. Biasanya, dalam trend ini, tidak dipisahkan lagi antara ilmu agama (ilmu Islam) dengan ilmu umum (sekuler). Sehingga, sasarannya adalah social sciences, humanities, dan natural sciences. Sebenarnya, dalam tinjauan Azizy, diskusi apakah setiap ilmu harus didasarkan pada al-Qur’an (agama) atau tidak, pada dasarnya telah dilakukan sebelumnya oleh al-Ghazali dalam al-Mustashfa min Ilm al-Ushul, yang menurutnya harus. Demikian pula al-Syathibi dalam al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’at dan al-Suyuthi dalam al-Itqan fi Ulum al-Qur’an juga membahas ini.

Kelima, studi Islam klasik. Model kajian yang dilakukan oleh al-Ghazali, al-Razi, al-Suyuthi, dan al-Mawardi merupakan contoh studi Islam ini. Maksudnya, mereka melakukan studi Islam secara kritis dan realistis, namun sasaran akhirnya untuk mengamalkan ajaran Islam. Disebut kritis dan realistis karena terbukti kontekstual pada masa itu, bahkan terkesan empiris.

Selain penjelasan lima model pendekatan Azizy di atas, peta pendekatan studi Islam dapat dilihat dari ragam model studi berikut ini.

Model pertama, pendekatan filsafat. Menurut Amin Abdullah,[19] dalam suatu agama mempunyai dua unsur, yaitu unsur sakralitas (taqdis al-afkar al-diniyyah) dan unsur profan (mu’amalah ma’a al-nas). Kedua unsur tersebut, jika dikaitkan dengan studi Islam, maka al-Qur’an dan hadis merupakan unsur yang pertama. Adapun selain kedua hal tersebut, dapat disebut unsur profan. Pada dasarnya pendekatan filsafat ini memiliki sifat keilmuan, inklusif, dan terbuka. Oleh karena itu, tepat jika menjadikan filsafat sebagai salah satu pendekatan dalam studi Islam. Dalam pandangan Abdullah, filsafat sebagai metodologi keilmuan ditandai tiga ciri: (1) pendekatan kajian atau telaah filsafat selalu terarah pada pencarian dan perumusan ide-ide atau gagasan yang bersifat mendasar (fundamental ideas) dalam berbagai persoalan; (2) pengenalan dan pendalaman persoalan serta isu-isu fundamental dapat membentuk cara berfikir kritis (critical thought); (3) kajian dan pendekatan filsafat yang bersifat demikian, secara otomatis akan membentuk mentalitas, cara berfikir dan kepribadian yang mengutamakan kebebasan intelektual (intellectual freedom), sekaligus mempunyai sikap toleran terhadap berbagai pandangan dan kepercayaan yang berbeda serta terbebas dari dogmatisme dan fanatisme.

Model kedua adalah pendekatan sosiologis-historis. Menurut Atho Mudzhar,[20] sosiologi dapat digunakan dalam studi Islam dengan mengambil beberapa tema: (1) studi pengaruh agama terhadap masyarakat; (2) studi pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman ajaran Islam atau konsep Islam; (3) studi tentang tingkat pengalaman keislaman masyarakat; (4) studi pola interaksi sosial masyarakat muslim; (5) studi gerakan masyarakat yang membawa paham yang menunjang atau melemahkan kehidupan beragama dalam Islam. Pendekatan ini, menurutnya, juga relevan digunakan dalam studi hukum Islam mengingat hukum Islam itu sendiri merupakan bagian dari gejala sosial yang menyejarah.

Sejalan dengan Mudzhar, Minhaji juga menjadikan pendekatan sosial dan sejarah dalam studi Islam. Bahkan, pendekatan sejarah ini juga bisa diterapkan dalam kajian hukum Islam dan ushul fiqh. Karena menurutnya, ushul fiqh selama ini cenderung menggunakan pendekatan doktriner-normatif-deduktif yang sekaligus mengabaikan sejarah. Dengan menerapkan metode sejarah dalam ushul fiqh, maka diharapkan pada saat bersamaan dapat menemukan hukum Islam yang mampu menjawab persoalan kekinian.

Model ketiga adalah pendekatan interdisipliner. Maksudnya, pendekatan interdisipliner ini meniscayakan penggunaan pendekatan studi Islam ‘ala Barat untuk dijadikan sebagai “alat bantu” dalam mengkaji kelimuan Islam. Meskipun di saat bersamaan, sebagaimana dikutip Kamaruzzaman, Fazlurrahman mengelompokkan orientalis Barat sebagai orang luar (out sider) dan ilmuwan Islam sebagai orang dalam (insider).[21] Dalam analisis Minhaji, para outsider ini sendiri terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok traditionalist yang mendasarkan kajiannya pada apa yang ditulis oleh orang Arab Muslim, terutama pada era klasik, dan kelompok revisionist yang memandang bahwa Islam sebenarnya tidak mempunyai rumusan ajaran hukum, melainkan hasil peniruan dari agama-agama sebelumnya.[22]

Namun demikian, bagi Kamaruzzaman, yang paling urgen untuk dikuasai oleh calon peneliti dalam studi Islam adalah penguasaan ilmu-ilmu dasar, yaitu ilmu kalam (teologi Islam), tasawuf (sufisme), dan ilmu fiqh beserta ushul fiqh-nya. Pendekatan dalam metode-metode di atas hanya dapat digunakan sebagai alat bantu. Dicontohkannya, ketika seseorang hendak meneliti pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam di sebuah Pengadilan Agama, maka yang mendasar harus dikuasainya adalah hakikat, sejarah, tokoh-tokoh, dan alur pemikiran hukum Islam dalam lintasan sejarah. Kemudian baru menggunakan model-model pendekatan di atas sebagai pisau analisisnya. Alasannya, jika terjadi ketimpangan, misalnya seorang peneliti cenderung menguasai metodologi namun miskin ilmu dasar, maka hasil penelitiannya “cacat” secara kualitas. Hal ini karena, ilmu dasar adalah modal penentu, sedangkan pendekatan adalah model dari penelitian yang akan dilakukan.[23]

F. Penutup

Studi Islam dengan berbagai pendekatannya akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia dan dinamika jaman. Satu pendekatan meniscayakan pendekatan berikutnya. Islam pun tidak pernah baku sebagaimana tidak pernah bakunya pemikiran manusia. Hal ini semakin menguatkan pandangan bahwa agama senantiasa berjalan di atas jalan akal, termasuk Islam yang bersumber dari wahyu sekalipun. Dengan demikian, menjadikan Islam sebagai objek studi bukan hanya layak dilakukan, tetapi harus dikembangkan.




DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normatifitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
_______________, Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Azizy, Qadri, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, Jakarta: Depag RI, 2003.
Bustaman, Kamaruzzaman, Islam Historis: Dinamika Studi Islam di Indonesia, Yogyakarta: Galang Press, 2002.
Fanani, Ahwan, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Fanani, Muhyar, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan sebagai Cara Pandang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Hakim, Atang Abd., Metodologi Studi Islam, Bandung: Rosdakarya, 2000.
Maarif, Syafii, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Marno (ed), Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana, 2005.
Minhaji, Akh., Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht, Yogyakarta: UII Press, 2001.
Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Mochtar, Affandi (ed), Menuju Penelitian Keagamaan dalam Perspektif Penelitian Sosial, Cirebon: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1996.
Nanji, Azim (ed), Peta Studi Islam; Orientasi dan Arah Baru Kajian Islam di Barat, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Al-Qurtuby, Sumanto, KH. MA. Sahal Mahfudz; Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta: Cermin, 1999.
Said, Edward, Orientalisme, Terj. Achsin muhammad, Bandung: Mizan, 1996.
S. Praja, Juhaya, Pengantar Filsafat Ilmu; Filsafat Ilmu-Ilmu Islam, Bandung: Sulita, 2003.




[1] Disampaikan dalam perkuliahan pengantar “Metodologi Studi Islam” Fakultas Syariah dan Hukum UNISNU Jepara, semester genap 2014/2015.
[2] Perdebatan antara pendekatan normatif dan pendekatan historis merupakan peristiwa sejarah pemikiran yang berlangsung sampai sekarang. Di tengah hirup-pikuk perdebatan itu, Amin Abdullah mencoba “mendamaikan”nya dengan pendekatan “interkonektifitas”. Pendekatan interkonektifitas diandaikan membuat keduanya (normatifitas dan historisitas) saling mengisi dan menguatkan, bukan saling melemahkan. Selengkapnya lihat M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normatifitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
[3] Mohammed Arkoun, “Memikirkan Kembali Islam Saat Ini”, dalam Azim Nanji (ed), Peta Studi Islam; Orientasi dan Arah Baru Kajian Islam di Barat, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), hlm. 339.
[4] Sumanto Al-Qurtuby, KH. MA. Sahal Mahfudz; Era Baru Fiqih Indonesia, (Yogyakarta: Cermin, 1999), hlm. v.
[5]Affandi Mochtar (ed), Menuju Penelitian Keagamaan dalam Perspektif Penelitian Sosial, (Cirebon: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1996), hlm. 34.
[6] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm.7
[7]Atang abd. Hakim, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2000), hlm. 58.
[8]M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 35.
[9]Juhaya S. Praja, Pengantar Filsafat Ilmu; Filsafat Ilmu-Ilmu Islam, (Bandung: Sulita, 2003), hlm. 31.
[10] Marno (ed), Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.1.
[11] Ibid., hlm. 8.
[12] Syafii Maarif, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 34-36.
[13] Ahwan Fanani, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 252.
[14] Edward Said, Orientalisme, Terj. Achsin muhammad, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 9.
[15] Ahwan Fanani, Op. Cit., hlm.254.
[16]Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan sebagai Cara Pandang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. ix.
[17] Ibid., hlm. Xxiii.
[18] Lihat Qadri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, (Jakarta: Depag RI, 2003), hlm.30-36.
[19]M. Amin Abdullah, Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 7-8)
[20] M. Atho Mudzhar, Op. Cit., hlm. 24-27.
[21] Kamaruzzaman Bustaman, Islam Historis: Dinamika Studi Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), Hlm.13.
[22]Diskusi menarik tentang hal ini dapat dilihat dalam Akh. Minhaji, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 212-256.
[23] Kamaruzzaman Bustaman, Op. Cit., hlm. 18.

1 komentar so far

Amanat wali Allah ٨٠٤/804/1402 mewakili kesatuan kelompok batu batu kuno ditemukan dikabupaten Sumedang peran dan pengaruh Sunan Gunung Djati melengkapi prasasti Hingga saat ini, belum ditemukan sumber tertulis berupa prasasti ataupun tulisan dalam benda-benda peninggalan purbakala yang memberikan informasi tentang Sunan Gunung Djati (selanjutnya disingkat SGD). Yang ada yaitu sumber tulisan berupa naskah, yaitu karangan yang ditulis dengan tangan (dalam perkembangannya, naskah juga meliputi karangan yang ditik tetapi belum diterbitkan). Naskah-naskah yang berisi informasi tentang SGD, tergolong karya sastra sejarah, yaitu karya yang terdiri dari tiga unsur: sejarah, sastra, dan mitos.


EmoticonEmoticon