Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Oktober 2016

PENERIMA WARISAN

PENERIMA WARISAN

 
PENERIMA WARISAN

MAKALAH
Disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits Ahkam
Dosen Pengampu :
Nur Kholis, S.H.I., M.S.I.


Disusun Oleh:
ACHMAD MIFTACHUL ALIM (1213001)
NAILA HUSNA (1213031)
RIFAL MAULANA AUNADIN (1213038)
________________________________________
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU)
JEPARA 2015 
KATA PENGANTAR 
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rohmatNya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas karya ilmiah yang “Hadits Ahkam”.
Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun pada materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan dalam pembuatan karya ilmiah ini. Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis menyampaikan terimakasih kepada pihak yang membantu dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Semoga dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Aamiin.
Jepara,25 Oktober 2015

Kelompok 3 
DAFTAR ISI
 KATA PENGANTAR    ii
DAFTAR ISI    iii
A.    Pendahuluan    1
B.    Pembahasan    2
1.    Pengertian Penerima Warisan    2
2.    Teks-teks dan Kandungan Hadits Penerima Warisan    4
3.    Kontekstual Hadits Penerima Warisan    5
C.    Kesimpulan    8
DAFTAR PUSTAKA     9


A. Pendahuluan

Secara bahasa, kata waratsa asal kata kewarisan digunakan dalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an dan dirinci dalam sunnah Rasulullah Saw, hukum kewarisan islam ditetapkan. Secara bahasa, kata waratsa memiliki beberapa arti: mengganti, memberi dan mewarisi. Secara terminologis, hukum kewarisan islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah), pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.[1]

Hukum kewarisan Islam yang dalam kitab-kitab fikih biasa disebut Faraid adalah hukum kewarisan yang diikuti oleh umat islam dalam usaha dalam menyelesaikan pembagian harta peninggalan keluarga yang meninggal dunia. Di beberapa negara berpenduduk mayoritas beragama islam faraid telah menjadi hukum positif, meskipun sebagaimana yang berlaku di Indonesia hanya berlaku untuk warga negara beragama islam, tidak berlaku secara nasional. Namun, di beberapa negara hukum tersebut telah menjadi hukum nasional seperti yang berlaku di Saudi Arabia.[2]

Hukum kewarisan dalam islam menjadi perhatian besar. Karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya. Naluriah manusia yang menyukai harta benda tidak jarang memotivasi seseorang untuk menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta benda tersebut, termasuk didalamnya terdapat harta peninggalan pewarisnya sendiri. Kenyataan demikian telah ada dalam sejarah umat manusia, hingga sekarang ini. Terjadinya kasus-kasus gugat waris di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri, menunjukkan fenomena ini.[3]

Dalam pembagian warisan atas harta pewaris tidak jarang menjadi pemicu terjadinya perselisihan dalam keluarga. Agar tidak terjadi perselisihan dalam keluarga, maka perlu pemaparan mengenai siapa-siapa yang berhak menerima warisan. Untuk mengetahui orang yang berhak menerima warisan yang lebih lanjut akan dipaparkan dalam bagian pembahasan makalah ini. Selain penerima warisan, makalah ini juga membahas mengenai hadits, makna dan kandungan, dan kontekstual hadits penerima warisan.

B. Pembahasan

1. Pengertian Penerima Warisan


Ahli waris atau disebut juga warits dalam istilah fikih ialah orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal.[4] Menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.[5] Dengan demikian, yang dimaksut ahli waris adalah mereka yang jelas-jelas mempunyai hak waris ketika pewarisnya meninggal dunia, tidak ada halangan untuk mewarisi (tidak ada mawani’ al-irts).[6]

Berdasarkan definisi di atas, maka syarat ahli waris yaitu:[7]

a. Mempunyai hubungan darah dengan pewaris.

b. Mempunyai hubungan perkawinan (suami atau istri pewaris).

c. Mempunyai hubungan satu agama dengan pewaris.

d. Tidak terhalang untuk mendapatkan warisan.

Sebab-sebab mewarisi, yaitu:

a. Hubungan kekeluargaan

Hubungan kekeluargaan dibagi dua, yaitu kekeluargaan yang sebenarnya (haqiqi) dan hubungan kekeluargaan yang bersifat hukmi (yang kekeluargaan yang disebabkan oleh pembebasan budak).[8]

b. Hubungan perkawinan

Ahli waris yang disebabkan oleh hubungan perkawinan ialah suami atau istri. Suami menjadi ahli waris bagi istrinya dan sebaliknya istri adalah ahli waris bagi suaminya. Adanya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tidak menyebabkan kewarisan apapun terhadap kerabat istri atau kerabat suami. Dalam hal ini anak tiri dari suami bukanlah ahli waris dari suami, demikian pula anak tiri dari istri bukanlah ahli waris dari istri.[9]

c. Hubungan agama (sesama muslim)

Untuk mengetahui hubungan agama, telah dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam, ahli waris dipandang beragama islam apabila diketahui dari kartu identitas atau amalan atau kesaksian, sedangkan bayi-bayi yang baru lahir atau anak yang dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.[10]

d. Hubungan wala’ (sebab memerdekakan budak)

Majikan mewarisi kepada budaknya yang telah ia merdekakan, tidak sebaliknya. Hubungan ini sudah tidak berlaku lagi, karena setelah islam datang, perbudakan sudah dihapus oleh islam, karena perbudakan bertentangan dengan syariat islam.[11] Dalam Kompilasi Hukum Islam sebab hubungan wala’ ini tidak dicantumkan, karena dalam kehidupan sekarang ini lebih-lebih di Indonesia perbudakan tidak diakui lagi keberadaannya.[12]

2. Teks-teks dan Kandungan Hadits Penerima Warisan


a. Hadits riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim[13]



وعن ابن عبا س رضي الله عنهما عن النبي ص.م. قال : الحقوا الفرائض باهلها, فما بقي فهو لآولى رجل ذكر. :متفق عليه



Dari Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW. Ia bersabda, Serahkanlah bagian itu kepada yang berhak, kemudian sisanya adalah untuk laki-laki yang lebih dekat (kepada mayit). (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim).

Perkataan “serahkanlah bagian kepada yang berhak” itu maksudnya, ialah bagian-bagian yang telah ditentukan. Sedangkan mereka yang berhak itu ialah orang-orang yang telah ditentukan berdasarkan nash. Hadits ini menunjukkan bahwa sisa dari pembagian tersebut sesudah terpenuhinya semua yang berhak adalah untuk keluarga laki-laki yang terdekat (ashabah). Maka ini tidak dapat disertai oleh orang yang lebih jauh dari mayit.[14] Hadits yang disebutkan di atas menjadi landasan kewarisan ashabah yang berlaku dikalangan ulama AhluSunnah. Hadits menyebutkan kewarisan furudh dalam jumlah yang terbatas sebagai tambahan penjelas dari apa yang secara dzahir dinyatakan Allah dalam al-Qur’an.[15]

b. Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah[16]

و عن عبد االله بن عمر وان النبي ص.م. قال : لا يتوارث أهل ملتين شتى. رواه أحمد وأبو داود وابى ماجه-

Dan dari Abdullah bin ‘Amr: Sesungguhnya Nabi SAW bersabda, Dua pemeluk agama yang berbeda tidak dapat saling mewarisi. (HR Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah).

Dan zhahirnya perkataan “dua pemeluk agama tidak dapat saling mewarisi” itu berarti pemeluk agama kafir (selain islam) tidak juga bisa menjadi hak waris bagi pemeluk agama kafir lainnya. Dan begitulah pendapat Al Auza’I, Malik, Ahmad dan Hadawiyah. Tetapi oleh jumhur dikatakan bahwa maksud kalimat tersebut ialah antara islam dan lainnya. Selain itu tidak ada persoalan.[17] Yang dimaksud berbeda agama di sini adalah antara orang islam dan non-islam. Perbedaan agama yang bukan islam misalnya antara orang Kristen dan budha tidak termasuk dalam pengertian ini.[18] Selain hadits di atas, Nabi SAW mempratekkan pembagian warisan, bahwa perbedaan agama menyebabkan antara mereka tidak bisa saling mewarisi. Yaitu pada saat Abu Thalib, aman kesayangan beliau, meninggal dunia. Abu Thalib meninggal sebelum masuk islam, meninggalkan empat orang anak, ‘Uqail dan Thalib yang belum masuk islam, dan Ali serta Ja’far yang telah masuk islam. Oleh Rasulullah SAW harta warisan diberikan kepada ‘Uqail dan Thalib. Ini menunjukkan bahwa perbedaan agama menjadi penghalang untuk mewarisi.[19]

3. Kontekstual Hadits Penerima Warisan


Ahli waris ada dua macam, pertama, ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang hubungan kewarisannya didasarkan karena hubungan darah (kekerabatan). Kedua, ahli waris sababiyah yaitu ahli waris yang hubungan kewarisannya karena suatu sebab, yaitu sebab pernikahan dan memerdekakan budak.[20]

Dalam Kompilasi Hukum Islam, kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Hubungan Darah, terdiri dari:

1) Golongan laki-laki, yaitu ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek.

2) Golongan perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek.

b. Hubungan Perkawinan, terdiri dari, duda atau janda.[21]

Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak menerima warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.[22]

Yang termasuk ahli waris nasabiyah laki-laki, yaitu:[23]

a. Ayah

b. Kakek dari garis ayah

c. Anak laki-laki

d. Cucu laki-laki garis laki-laki

e. Saudara laki-laki sekandung

f. Saudara laki-laki seayah

g. Saudara laki-laki seibu

h. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung

i. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah

j. Paman, saudara laki-laki ayah kandung

k. Paman, saudara laki-laki ayah seayah

l. Anak laki-laki paman sekandung

m. Anak laki-laki paman seayah

Urutan tersebut disusun berdasarkan kedekatan kekerabatan ahli waris dengan pewaris. Kalau semua ahli waris ada, maka yang mendapat warisan adalah anak laki-laki dan ayah.

Yang termasuk ahli waris nasabiyah perempuan, yaitu:[24]

a. Ibu

b. Nenek dari garis ibu

c. Nenek dari garis ayah

d. Anak perempuan

e. Cucu perempuan garis laki-laki

f. Saudara perempuan sekandung

g. Saudara perempuan seayah

h. Saudara perempuan seibu

Apabila semua ahli waris perempuan tersebut ada ketika pewaris meninggal dunia, maka yang dapat menerima bagian adalah ibu, anak perempuan, cucu perempuan garis laki-laki dan saudara perempuan sekandung.

Jika semua ahli waris nasabiyah laki-laki dan perempuan tersebut ada, maka yang dapat menerima warisan adalah ayah, ibu, anak laki-laki dan anak perempuan.[25]

Adapun ahli waris sababiyah, terdiri dari duda (suami) atau janda (istri).

Apabila semua ahli waris nasabiyah dan sababiyah tersebut ada pada saat pewaris meninggal, maka yang berhak menerima bagian adalah: anak laki-laki dan perempuan, ayah, ibu, janda atau duda.[26]

Kompilasi Hukum Islam tidak menegaskan secara eksplisit perbedaan agama antara ahli waris dan pewarisnya sebagai penghalang mewarisi. Kompilasi Hukum Islam hanya menegaskan bahwa ahli waris beragama islam ada saat meninggalnya pewaris (ps. 171 huruf c).[27] Untuk mengidentifikasi seorang ahli waris beragama islam, dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 172 menyatakan: ahli waris dipandang beragama islam apabila diketahui dari kartu identitas atau amalan atau kesaksian, sedangkan bayi-bayi yang baru lahir atau anak yang dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.[28]

C. Kesimpulan


Menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

1. Hubungan Darah, terdiri dari:

a. Golongan laki-laki, yaitu ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek.

b. Golongan perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek.

2. Hubungan Perkawinan, terdiri dari, duda atau janda.

Kompilasi Hukum Islam hanya menegaskan bahwa ahli waris beragama islam ada saat meninggalnya pewaris (ps. 171 huruf c).




DAFTAR PUSTAKA



Faishal, Terjemah Nailul Authar, Penerjemah: Mu’ammal Hamidy, dkk, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001, Cet.3.
Kompilasi Hukum Islam
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pres, 2014.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.
Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: kencana, 2005.

[1] Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres, 2014), hlm. 1.
[2] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: kencana, 2005), Cet.2, hlm. 35.
[3] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), Cet.2, hlm. 356.
[4] Amir Syarifuddin, Op.Cit., hlm. 210-211.
[5] Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam.
[6] Mardani, Op.Cit., hlm. 35.
[7] Mardani, Ibid., hlm. 27.
[8] Mardani, Ibid., hlm. 27.
[9] Amir Syarifuddin, Op.Cit., hlm. 221.
[10] Pasal 172 Kompilasi Hukum Islam.
[11] Mardani, Op.Cit., hlm. 29.
[12] Ahmad Rofiq, Op.Cit., hlm. 402.
[13] Faishal, Terjemah Nailul Authar, Penerjemah: Mu’ammal Hamidy, dkk., (Surabaya:PT. Bina Ilmu, 2001), Cet.3, hlm. 2050.
[14] Faishal, Ibid., hlm. 2052.
[15] Amir Syarifuddin, Op.Cit., hlm. 42.
[16] Faishal, Op.Cit., hlm. 2084.
[17] Faishal, Ibid., hlm. 2086.
[18] Ahmad Rofiq, Op.Cit., hlm. 404.
[19] Ahmad Rofiq, Ibid., hlm. 405.
[20] Mardani, Ibid., hlm. 35.
[21] Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam.
[22] Mardani, Op.Cit., hlm. 36.
[23] Mardani, Ibid., hlm. 36.
[24] Mardani, Op.Cit., hlm. 36-37.
[25] Ahmad Rofiq, Op.Cit.,hlm. 387.
[26] Ahmad Rofiq, Ibid., hlm. 388.
[27] Ahmad Rofiq, Ibid., hlm. 404.
[28] Pasal 172 Kompilasi Hukum Islam.

Sabtu, 08 Oktober 2016

Pengertian, Macam-macam, beserta contoh Cara THAHARAH (BERSUCI)

THAHARAH


Thaharah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagai manusia yang diciptakan Allah SWT. Di dunia ini mengemban dua hal dalam tujuan penciptaannya. Yakni sebagai hamba Allah yang di “taklif” untuk beribadah sekaligus sebagai Khalifah untuk mengatur bumi.
Berkaitan dengan ibadah, manusia diberikan tuntunan dan aturan yang harus dipenuhi sebagai sarana penentu keabsahan semua rangkaian ibadah sehingga ibadah menjadi diterima secara syar’i. Begiatu juga dengan sholat dan serangkaian ibadah yang mengharuskan bersuci maka tak lepas dari bagaimana aturan bersuci yang benar. Bersuci yang asalnya Jawaz dalam hal ini menjadi wajib karena terkena aturan sebagaimana bunyi kaidah fiqh berbunyi “Ma la Yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib”(sesuatu yang menjadi kesempurnaanya sebuah kewajiban maka sesuatu itu menjadi wajib pula).
Disini penulis mencoba menyajikan tulisan yang sedikit mengupas tentang bagaimana cara bersuci serta macam-macamnya sebagai salah satu sumbangsih khazanah keilmuan semoga bermanfaat. Amiin.

B.    Rumusan Masalah.
Dalam penulisan makalah ini rumusan masalah yang akan d kaji diantaranya:
1.    apa pengertian Toharoh?
2.    Apa saja diantara macam-macam thoharoh?
3.    Bagaimana caranya thoharoh?

C.    Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya:
1.      Untuk mengetahui konsep dasar tentang thoharoh.
2.      Untuk mengetahui macam-macam thoharoh.
3.      Untuk memahami cara melakukan thoharoh

Adapun kegunaannya adalah:
1.         Menambah wawasan dan sebagai bahan bacaan.
2.         Memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Fiqh





BAB II
PEMBAHASAN
THAHARAH (BERSUCI)



A.    HAKIKAT THAHARAH (BERSUCI)

 

Thaharah (bersuci) menurut bahasa berarti bersih  dan membersihkan diri dari kotoran yang bersifat hissiy (indrawi)  seperti najis serta kotoran yang ma’nawi seperti cacat atau aib . Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata bersih memiliki beberapa makna, antara lain:
1)    Bebas dari kotoran
2)    Bening tidak keruh (tt air), tidak berawan (tt langit)
3)    Tidak tercemar (terkena kotoran
4)    Tidak bernoda; suci
5)    Tidak dicampur dng unsur atau zat lain; asli.
Jadi, bersih yang dimaksud disini adalah suatu keadaan dimana sesuatu terbebas dari segala hal yang membuatnya tampak tidak baik dan bersifat merusak pandangan.selain itu, kebersihan juga merupakan ciri muslim yang cukup menonjol dimana telah ditegaskan dalam sebuah maqolah bahwa “kebersihan merupakan sebagian dari iman” . Maka dari itu, hal kebersihan ini cukup menjadi perhatian di kalangan umat Islam.
Pada dasarnya,thaharah tidak selalu diidentikkan dengan kebersihan karena ada perbedaan diantara keduanya. Meskipun sama-sama bertujuan untuk menjaga kebersihan namun thaharah sendiri mengandung nilai ibadah bagi yang menjalankannnya. Nilai ibadah inilah yang kemudian menjadikan thaharah sebagai nilai lebih yang dimiliki umat Islam.
Adapun menurut syara’, thaharah adalah sesuatu yang dihitung sunnah untuk melaksanakan sholat seperti wudhu, mandi, tayammum dan menghilangkan najis.  Thaharah atau bersuci dalam pandangan Islam tidak hanya menyangkut masalah bersih atau kotor, namun lebih kepada tujuan sahnya sebuah ibadah.

Tanpa adanya ritual bersuci yang sesuai, mustahil akan terwujud ibadah yang sah. Karena salah satu syarat sahnya semua ibadah adalah kondisi suci yang apabila tidak terpenuhi maka akan berakhir dengan kesia-siaan.


B.    MACAM-MACAM THAHARAH

 

Beberapa macam thaharah yang akan dibahas dalam makalah ini diantaranya yaitu wudlu, mandi dan tayammum. Untuk perinciannya akan kami bahas lebih lanjut sebagai bertikut:

1.    Wudlu

Wudlu menurut bahasaya itu sebutan untuk pembersihan sebagian anggota badan . Adapun menurut syara’, wudlu adalah sebutan untuk pembersihan bagian-bagian tertentu dengan niat yang tertentu . Hukum wudlu ada dua, wajib bagi orang yang hadats  dan sunnah bagi orang yang memperbarui wudlu baik setelah shalat ataupun setelah mandi wajib, serta ketika orang yang junub hendak melakukan makan, tidur atau wathi dan lain sebagainya . Beberapa komponen wudlu antara lain:

a.    Fardlu wudlu

Fardlu wudlu ada 6 yaitu:
1.    Niat
2.    Membasuh wajah
3.    Membasuh kedua tangan beserta dua siku
4.    Mengusap sebagian kepala
5.    Membasuh dua kaki sampai mata kaki
6.    Tertib .


b.    Syarat wudlu

Syarat wudlu yaitu hal-hal yang harus terpenuhi sebelum melaksanakan wudlu. Sayyid Ahmad telah mengemukakan beberapa syarat wudlu seperti:
(1)    Islam
(2)    Cerdas; tidak bodoh atau gila
(3)    Suci dari haidl dan nifas
(4)    Bersih dari hal-hal yang menghalangi atau mencegah mengalirnya air sampai kekulit
(5)    Anggota wudlu tidak mengandung hal yang dapat merubah sifat air
(6)    Mengerti kefardluan wudlu
(7)    Tidak meyakini bahwa fardlu wudlu adalah sunnah
(8)    Air yang suci
(9)    Menghilangkan najis yang terlihat
(10)    Mengalirkan air di seluruh anggota wudlu .

c.    Sunnah wudlu

Sunnah wudlu merupakan hal yang ketika dilakukan pada saat wudlu dan mendapat pahala serta tidak berdosa jika ditinggalkan. Diantaranya yaitu:
(a)    Bersiwak
(b)    Membaca Basmalah
(c)    Membasuh kedua telapak tangan
(d)    Berkumur
(e)    Menghisap dan menyemprotkan air dari lubang hidung
(f)    Mengulangi rukun sebanyak tiga kali;
(g)    Mengusap seluruh kepala

d.    Hal-hal yang membatalkan wudlu

Beberapa hal yang dapat merusak wudlu diantaranya yaitu:
1.    Segala sesuatu yang keluar dari qubul atau dubur kecuali mani;
2.    Hilangnya akal kecuali sebab tidur yang tetap duduknya;
3.    Bertemunya dua kulit laki-laki dan perempuan yang sudah baligh dan berlainan;
4.    Menyentuh qubul atau lubang dubur dengan telapak tangan atau ujung jari bagian dalam.

2.    Mandi (Al Ghusl)

Mandi secara bahasa adalah mengalirkan air ke segala sesuatu baik badan, pakaian dan sebagainya tanpa diiringi dengan niat. Sedangkan menurut syara’ mandi yaitu mengalirkan air ke seluruh anggota badan denagn niat tertentu.
Dalam islam, mandi atau Al Ghusl memiliki posisi yang cukup urgen. Hal ini  mengingat mandi bertujuan untuk menghilangkan hadats atau kotoran yang tidak bisa dihilangkan hanya dengan wudlu. Namun mandi yang dimaksud disini tentunya memiliki karakteristik serta aturan yang berbeda dari mandi yang hanya untuk membersihkan badan dari kotoran yang melekat di tubuh. Berikut beberapa hal yang menyangkut mandi dalam Islam:

a.    Hal yang mewajibkan mandi

1.    Bertemunya dua kemaluan
2.    Keluarnya mani
3.    Haidl
4.    Nifas
5.    Wiladah
6.    Meninggal dunia

b.    Fardlu mandi

Fardlu mandi ada tiga yaitu niat, membersihkan najis yang ada di seluruh tubuh serta mengalirkan air hingga mengenai seluruh anggota tubuh.

c.    Sunnah mandi

Beberapa sunnah mandi yang dianjurkan adalah lima perkara, yaitu:
1.    Membaca basmalah
2.    Berwudlu sebelum melakukan mandi
3.    Menggosok-gosokkan tangan pada tubuh
4.    Berturut-turut
5.    Mendahulukan anggota sebelah kanan

d.    Syarat mandi (Al Ghusl)

Adapun syarat mandi adalah sebagaimana syarat melaksanakan wudlu.

e.    Mandi-mandi yang disunnahkan

Beberapa mandi yang disunnahkan dalam Islam adalah mandi jum’at, mandi dua hari raya , mandi dua gerhana , mandi karena islamnya orang kafir serta mandi karena sembuhnya orang gila dan orang yang berpenyakit ayan.

3.    Tayammum

Menurut bahasa, tayammum adalah menyengaja (القصد). Sedangkan menurut ishtilah yaitu mengusapkan debu pada wajah dan kedua tangan dengan niat tertentu. Tayammum yaitu sebuah ritual penyucian diri dari hadats dengan menggunakan debu sebagai pengganti air dikarenakan beberapa sebab atau hal tertentu.

Sebab-sebab tayammum terbagi menjadi dua kategori. Pertama yaitu tayammum yang wajib mengulangi sholat yang telah dilakukan seperti tayammum karena tidak adanya air di tempat yang biasanya terdapat air melimpah, lupa meletakkan air, hilangnya air dari tempatnya dan sebagainya . Kedua yaitu dimana tidak diwajibkan untuk mengulangi sholat yang telah dilakuakan seperti tayammum karena tidak ada air di tempat yang sudah biasa tidak ada airnya dan kebutuhan akan air tersebut untuk diminum atau dijual untuk memenuhi kebutuhan, tidak adanya air kecuali dengan harga tertentu dan tidak ada uang untuk membeli atau akan dipergunakan untuk kebutuhan lain .

Fardlu tayammum ada lima yaitu memindahkan debu dari tanah atau udara kebagian yang diusap, niat, mengusap wajah, mengusap dua tangan hingga kedua siku dan tertib. Beberapa Sunnah tayammum yaitu bersiwak, membaca basmalah, mendahulukan anggota kanan, berturut-turut, menipiskan debu pada telapak tangan.

Hal hal yang membatalkan tayammum diantaranya yaitu hadats, murtad, mengira telah ada air di luar sholat, mengerti tentang keberadaan air, mampu untuk membeli air dan sebagainya.

C.    DASAR HUKUM THAHARAH

Beberapa dalil hukum thaharah dalam al quran dan hadits adalah sebagai berikut:
Surat Al Maidah ayat 6 tentang wudlu, mandi dan tayammum:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
   
Surat An Nisa’ ayat 43 tentang mandi dan tayammum:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”(4:43).




BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN
Thaharah (bersuci) menurut bahasa berarti bersih dan membersihkan diri dari kotoran yang bersifat hissiy (indrawi)  seperti najis serta kotoran yang ma’nawi seperti cacat atau aib. Sedangkan menurut syara’, thaharah adalah sesuatu yang dihitung sunnah untuk melaksanakan sholat seperti wudhu, mandi, tayammum dan menghilangkan najis.
Beberapa macam thaharah yaitu wudlu untuk menghilangkan hadats kecil,  mandi untuk menghilangkan hadats besar serta tayammum untukj menggantikan wudlu dalam keadaan tertentu. Thaharah pada dasarnya adalah sebuah ibadah yang mencakup seluruh ibadah lainnya. Tanpa adanya thaharah mustahil akan terwujud ibadah yang sah karena ibadah yang dilakukan seorang hamba haruslah dalam keadaan yang suci untuk mencapai kesempurnaan.

B.    KATA PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun, yang mana tentunya tak lepas dari kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyajian. Karena kami pun menyadari tak ada gading yang tak retak. Untuk itu kritik dan saran pembaca sekalian sangat kami harapkan demi perbaikan dan evaluasi dari apa yang kami usahakan. Harapan kami semoga bermanfaat. Amin.


DAFTAR PUSTAKA

Al quran Al Karim
Al Ghaziy, Muhammad bin Qasim, Fath Al qarib, (Indonesia: Daar Al Ihya’ Al Kutub Al ‘Arabiyah)
Al Anshariy, Syaikh Al Islam Zakariya, Tuhfat Al Thullab, (Surabaya: Maktabah Al Hidayah)
Al Syathiriy , Sayyid Ahmad ibn Umar, Al Yaqut Al Nafis, Al Haramain
http://alimpolos.blogspot.com/

Selasa, 04 Oktober 2016

Guru Sejati dan Revolusioner






Selamat Hari Guru

Kumpulan Artikel Tentang Guru

Guru Sejati dan Revolusioner

Setiap orang pasti sepakat kalu seorang guru harus menjadi teladan bagi siswa dan masyarakat. Bukahkah guru itu digugu lan ditiru. Namun, apakah guru cukup menjadi teladan? Menurut penulis tidak. Mengapa? Karena guru juga harus sejati dan revolusioner. Artinya, yang perlu disoroti di sini juga semangat guru dalam mengemban tugas mulianya.

Secara implist, bisa disimpulkan ada “guru sejati” dan “guru aspal”. Guru sejati adalah meraka yang menjalankan tugasnya dengan penuh semagat keikhlasan dan semangat revolusioner mendidik anak bangsa. Sedangkan guru aspal adalah mereka yang berorientasi pada “rupiah” belaka, mengajar tanpa mendidik, memenuhi presensi tanpa menjadi motivator sejati bagi siswa di sekolah.

era global seperti ini memang menuntut guru untuk menjadi pragmatis. Artinya, guru butuh kesejahteraan dan kemakmuran. Dan hal itu salah satunya diperoleh dari tugasnya sebagai guru di lembaga pendidikan. Di sisi lain munculnya kebijakan sertifikasi semakin menjadikan guru salah niat dalam mengajar. Padahal kebijakan tersebut seharusnya menjadikan guru lebih kreatif, inivatif, dan profesional dalam mengemban misi mencerdaskan anak bangsa, bukan sekedar mengejar rupiah. Oleh karena itu, hal ini harus segera diluruskan.


Lalu bagai mana caranya? Caranya adalah dimulai dari mencegah munculnya guru aspal. Karena apa artinya rupiah, jika guru tidak biasa menjalankan tugas sucinya. Maka sebagai insan pendidikan, hal itu harus disikapi guru dengan arif. Salah satunya adalah dengan mencegah munculnya guru aspal dengan beberapa solusi dan trobosan yang efektif. Setidaknya ada beberapa cara, antara lain:

Pertama, memperketat penerimaan guru, baik sekolah berstatus swasta maupun negeri, PNS atau GTT. Mengapa demikian? Karena, selama ini masih banyak orang masuk sekolah dan menjadi guru hanya “berbasis KKN”. Artinya, asalkan punya kenalan pihak sekolah/dinas, asalkan punya uang ratusan juta rupiah, maka akses masuk jadi guru juga mudah.

Kedua, mempertegas aturan dan kiteria atau syarat menjadi guru. Selama ini, penerimaan guru tidak ketat dan kriterianya tidak jelas. Kita ketahui bahwa setidaknya seorang guru harus memiliki empat kompetensi pendidikan, yaitu pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.

Ketiga, guru harus linier, sesuai jurusannya. Artinya, jika guru itu lulusan Pendidikan Agama Islam, maka yang diajar gura mata pelajran agama Islam pula. Masih sering kita jumpai fakta di lapangan, guru mengajar tidak sesuai dengan bidangnya. Misalnya, lulusan Pendidikan Bahasa Indonesia mengajar materi bahasa Inggris, lulusan Pendidikan Biologi mengajar materi Ekonomi, dan sebagainya.

Yang jelas dan utama adalah guru harus memenuhi kualifikasi akademik dan kriteria plus-plus. Artinya, selama ini banyak guru yang pandai secara akademik, namun tidak mampu menjadi pendidik yang mampu memberikan motivasi dan semangat bagi siswanya. Inilah yang disebut dengan “kemampuan puls-plus” yang jarang dimiliki oleh guru. Bahkan banyak guru killer yang ditakuti siswanya, guru yang selalu memakai metode CBSA (Catat Buku Sampai Abis), guru yang mengajar ala kadarnya, banhkan guru yang centil/gatal kepada sisiwinya, dan masih banyak contoh lainnya. Inilah yang perlu dibenahi, jangan sampai guru aspal merusak pendidikan di negara ini.

Guru Revolusioner
Apakah cukup dengan itu, guru menjadi penentu pendidkan di negara ini? Tentu tidak, yang tak kalah urgen adalah perlunya guru revolusioner yang mengajar penuh dengan motivasi tinggi dengan semangat memajukan pendidikan Indonesia. Menurut Dian Marta Wijayanti, guru revolusioner memiliki beberapa ciri.

Pertama, dia selalu mengajar penuh rasa ikhlas tanpa pamrih. Artinya, dia tetap butuh kesejahteraan, tetapi bukan itu tujuannya. Mengapa? Karena menjadi guru bukanlah tujuan, karena posisi guru hanyalah alat untuk berbuat baik lebih banyak lagi dalam rangka memajukan pendidikan Indonesia yang masih jauh dari harapan.

Kedua, memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi. Artinya, bagai mana mungkin siswa akan bersikp disiplin kalau gurunya tidak.

Ketiga, selalu menjadi dambaan siswa dan memberikan motivasi kepada siswa agar semangat dalam mencari ilmu, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Keempat, mampu mengajarkan kepada siswa, bahwa hidup tidak sekedar menjadi manusia berilmu, akan tetapi juga beriman dan beramal.

Kelima, selalu mengajarkan kepada siswa bahwa hidup bukan sekedar “mejadi apa” (to be), tapi yang lebih penting adalah “berbuat apa” (to do).

Inilah yang harus ditanamkan kepada siswa. Dengan demikian, wajah pendidikan kita akan semakin berseri-seri, jika para gurunya sejati dan revolusioner, bukan aspal.

Maka dari itu jadilah guru sejati dan revolusioner, bukan aspal. Bagaimana menurut Anda?

Keterangan:
Tulisan ini terinspirasi dari Artikel berjudul “Guru Revolusioner”, karya Dian Marta Wijayanti (Suara Merdeka edisi 19/10/2013)
Oleh :Arif Luqman Nadhirin
Kendal, 19 Oktober 2013 M

Minggu, 02 Oktober 2016

Sejarah Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Irak sekarang), bernama Muzhaffaruddin al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 hijriyah. Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata: “Raja Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang pemberani, pahlawan, alim dan seorang yang adil -semoga Allah merahmatinya-”.

Sahabat Nabi Memperjuangkan Agama Islam

Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut raja al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut.

Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan maulid Nabi yang digelar untuk pertama kalinya itu. Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A’yan menceritakan bahwa al-Imam al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 H, beliau mendapati Raja al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “at-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada raja al-Muzhaffar.

Para ulama, semenjak masa raja al-Muzhaffar dan masa sesudahnya hingga sampai sekarang ini menganggap bahwa perayaan maulid Nabi adalah sesuatu yang baik. Jajaran para ulama terkemuka dan Huffazh al-Hadits telah menyatakan demikian. Di antara mereka seperti al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam an-Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), mantan mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), Mantan Mufti Bairut Lebanon; Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama besar yang lainnya. Bahkan al-Imam as-Suyuthi menulis karya khusus tentang maulid yang berjudul “Husn al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid”. Karena itu perayaan maulid Nabi, yang biasa dirayakan di bulan Rabi’ul Awwal menjadi tradisi ummat Islam di seluruh belahan dunia, dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.

Baca Juga Hukum Peringatan Maulid Nabi

ISLAM SEBAGAI OBJEK STUDI

ISLAM SEBAGAI OBJEK STUDI; 

 
ISLAM SEBAGAI OBJEK STUDI

Pengantar Kuliah Metodologi Studi Islam[1]

N. Kholis, M.S.I.



A. Pendahuluan

Islam itu “subjek” atau “objek”? Pertanyaan tersebut terkesan sederhana namun rumit jika diuraikan, lebih-lebih jika dalam kajian akademik. Secara sederhana, Islam sebagai subjek mengandaikan semua norma di dalamnya “mendikte” kehidupan manusia tanpa reserve. Sementara Islam sebagai objek menjadikannya sebagai “yang terdikte” oleh kehidupan manusia. Perdebatan inilah yang kemudian mendasari bentuk pendekatan yang saling berhadap-hadapan, yaitu pendekatan normatif (doktrinal-teologis) dan pendekatan historis (multi/interdisipliner).[2]

Muhammad Arkoun memandang Islam terbagi ke dalam dua ruang lingkup pemikiran; “yang tak terpikirkan” (the unthinkable) dan “yang terpikirkan” (the thinkable). Kedua konsep tersebut pada mulanya merupakan sesuatu yang historis, bukan filosofis. Domain perspektif dari masing-masing berubah melalui sejarah dan relasi antarkelompok sosial. Sebelum konsep sunnah dan ushul menjadi sistematis digunakan oleh al-Syafii, beberapa aspek pemikiran Islam masih mungkin “terpikirkan”. Aspek-aspek tersebut menjadi “tak terpikirkan” setelah keberasilan teori al-Syafii dan juga elaborasi tentang “koleksi” autentik tentang sumber ajaran Islam (al-Qur’an, hadis, ijma’, qiyash). Demikan pula, problem-problem yang terkait dengan proses historis pengumpulan al-Qur’an dalam sebuah mushaf yang resmi menjadi lebih “tak terpikirkan” di bawah tekanan resmi khalifah Islam karena al-Qur’an sudah digunakan sejak permulaan Islam untuk melegitimasi kekuasaan politik dan demi menyatukan umat.[3]

Dinamika kajian Islam terbentuk (dan terbelah) oleh dialektika antara wahyu dan rasio. Perjumpaan keduanya mendorong berkembangnya tradisi pemikiran dalam studi Islam. Sejarah pemikiran Islam secara umum kemudian diwarnai oleh dua kelompok aliran besar. Kelompok pertama dikenal dengan ahl al-hadis (mereka yang mengedepankan hadis Nabi dalam memahami al-Qur’an), sedangkan kelompok kedua dikenal dengan ahl al-ra’y (mereka yang mengedepankan rasio sebagai “panglima” dalam memahami al-Qur’an). Kelompok pertama tidak memberikan peluang adanya intervensi akal/ rasio dalam memahami otoritas wahyu, sedangkan kelompok kedua mendukungnya. Begitu pula dalam menyikapi perkembangan jaman. Kelompok ahl al-hadis cenderung lebih mempertahankan idealitas wahyu tanpa memberikan accomodatif thinking; bahwa makna yang tersurat dalam teks suci adalah final, sakral, permanen dan tidak dapat diubah. Sedangkan kelompok ahl al-ra’y bersikap negosiatif antara dasar agama (teks) dan keadaan (konteks).[4]

Oleh karena itu, ketika seseorang mengkaji Islam, pertama hal yang harus diketahui adalah bagaimana atau di mana Islam itu didudukkan dalam kajiannya. Sebab, selain Islam bersifat transendental, dirinya juga mempunyai sisi yang bersifat manusiawi dan historis. Dengan mengetahui hal ini, setidaknya pengkaji bisa mengetahui pada sisi-sisi mana yang akan menjadi objek kajiannya dari Islam. Setelah objek kajian jelas, maka hal yang perlu diketahui kemudian ialah bagaimana “cara” mendekati objek tersebut. Pada sisi pemilihan dan pemakaian cara ini nantinya akan memengaruhi atau bahkan menentukan corak hasil kajian. Ia bersikap objektif ataukah ideologis, rasional ataukah emosional. Ia memasukkan motif tertentu atau tidak, dan seterusnya.

Pada makalah “pembuka” perkuliahan ini, beberapa pendekatan studi diperbincangkan bukan untuk menjawab “bagaimana melakukannya”, apalagi masing-masing dikonfrontasikan untuk menentukan pendekatan mana yang “terbaik”. Akan tetapi, kajian lebih diarahkan pada “apa” yang dapat diterapkan dalam kaitannya dengan studi Islam. Tentu saja, Islam di sini telah diposisikan sebagai “objek studi”, bukan sebagai “subjek studi”.


B. Studi Islam; Studi Agama atau Studi Keagamaan?


Islam sebagai objek studi dan penelitian sudah lama diperdebatkan. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Islam, karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalaupun dapat dilakukan harus menggunakan metode khusus yang berbeda dari metode ilmu sosial. Pendapat ini juga beralasan bahwa agama merupakan sesuatu yang transenden. Agamawan cenderung berkeyakinan bahwa Islam memiliki kebenaran mutlak sehingga tidak perlu diteliti.[5]

Menurut Harun Nasution,[6] agama mengandung dua tahapan ajaran pokok. Tahapan pertama, ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui para rasulnya kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran yang terdapat dalam kitab suci tersebut memerlukan penjelasan tentang arti dan cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan para pemuka atau pakar agama kemudian membentuk ajaran agama pada tahapan kedua. Ajaran dasar agama merupakan wahyu Tuhan, bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Sedangkan penjelasan ahli agama terhadap ajaran dasar agama merupakan penjelasan dan hasil pemikiran, dan oleh karenanya ia tidak absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Bentuk ajaran agama yang kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan jaman.

Dengan demikian, para ilmuwan kemudian beranggapan bahwa agama juga merupakan objek kajian atau penelitian, karena agama merupakan bagian dari kehidupan sosio-kultural. Sehingga, penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan memperoleh pengaruh dari agama. Dengan kata lain, penelitian agama bukan meneliti kebenaran teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan realitas sosio-kultural tertentu. Dengan demikian pula, kedudukan studi dan penelitian agama adalah sejajar dengan penelitian-penelitian lain, karena yang membedakannya hanyalah objek kajian yang diteliti. Agama dalam pengertian yang kedua (yakni keberagamaan) dapat dijadikan sebagai objek penelitian tanpa harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode yang lain.

Selanjutnya, sebagaimana disimpulknan Atang Abd. Hakim, agama yang diturunkan dan terwujud dalam bentuk “pengetahuan dan pemikiran manusia” merupakan bagian dari budaya. Oleh karena itu, ia termasuk objek penelitian filsafat atau kebudayaan. Sedangkan agama yang diturunkan dan terwujud dalam bentuk “tindakan dan sikap manusia” merupakan produk interaksi sosial. Oleh karenanya, ia merupakan bagian dari ilmu sosial dan ilmu sejarah.[7]

Menurut Atho mudzhar,[8] bahwa sampai sekarang istilah penelitian agama dan penelitian keagamaan belum mendapatkan batasan yang tegas. Penggunaan yang pertama sering digunakan mencakup yang kedua, atau sebaliknya. Atas hal ini, Atho membedakan penelitian agama (research on religion) dengan penelitian keagamaan (religious research). Penelitian agama lebih mengutamakan pada materi agama, sehingga sasarannya terletak pada tiga elemen pokok, yaitu ritus, mitos dan magik. Sedangkan penelitian keagamaan lebih mengutamakan pada agama sebagai sistem keagamaan (religious system) yang tampak pada gejala-gejala dan interaksi sosial. Perbedaan antara penelitian agama dan penelitian keagamaan perlu disadari karena perbedaan tersebut membedakan jenis metode penelitian yang digunakan.

Sejalan dengan Atho Mudzhar, Juhaya S. Praja[9] membedakan antara penelitian agama dan penelitian hidup keagamaan. Baginya, penelitian agama adalah penelitian tentang asal-usul agama dan pemikiran serta pemahaman penganut ajaran tersebut terhadap ajaran yang terkandung di dalamnya, sehingga melahirkan ilmu tafsir, ilmu hadis, ushul fiqh, filsafat Islam, kalam, dan tasawuf. Sedangkan penelitian tentang hidup keagamaan adalah penelitian tentang praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual maupun kolektif.

C. Pengertian dan Perkembangan Studi Islam


Studi Islam atau di Barat dikenal dengan sistilah Islamic Studies, secara sederhana dapat dikatakan sebagai “usaha mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam.” Dengan perkataan lain, studi Islam adalah “usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik yang berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sepanjang sejarahnya.”[10]

Sejatinya, urgensi studi Islam adalah untuk menggali kembali ajaran-ajaran Islam yang asli dan murni, dan yang bersifat manusiawi dan universal, yang mempunyai daya untuk mewujudkan dirinya sebagai rahmatan li al-alamin. Dari situ kemudian ditransformasikan kepada generasi penerusnya agar mampu berhadapan dan beradaptasi dengannya.[11] Itu sebabnya, studi Islam selalu berkembang seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat sepanjang jaman.

Usaha mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri tentunya berbeda tujuan dan motivasinya dengan yang dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar. Sedangkan di luar kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk mempelajari seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku di kalangan umat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan (islamologi). Namun sebagaimana ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu pengetahuan tentang seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif maupun negatif.

Syafii Maarif[12] membagi babakan studi Islam dalam empat dimensi waktu; klasik, pra-modern, modern, neo-modern. Sedangkan babakan pasca–modern, menurutnya, belum banyak bisa dijelaskan karena terbatasnya karya-karya besar yang dilahirkan.

Studi Islam yang paling kaya adalah studi Islam klasik yang telah membuahkan karya-karya besar dalam filsafat, sastra, tasawuf, fiqh dan ushul fiqh, ilmu kalam, dan sejarah. Periode prodiktif ini berlangsung sekitar enam abad (abad 9-16 M). Secara intelektual, periode ini tidak sunyi dari polemik, benturan pendapat dan sengketa teologis. Bahkan, dalam periode ini telah tercipta suasana saling mengkafirkan.

Kemudian, antara abad ke-15 sampai dengan abad ke-17 adalah perode yang hampir kosong dari karya-karya kreatif dalam studi Islam. Periode ini ditandai dengan munculnya kekuatan Barat dalam politik, militer dan ilmu pengetahuan. Barat yang pernah dikuasai Islam pada abad-abad sebelumnya mulai menyusun kekuatan dan kemudian berhasil menguasai hampir seluruh dunia Islam yang sedang jatuh. Inilah masa pertengahan. Proses penghancuran ini baru berakhir pada pertengahan abad ke-20 dan melalui proses yang sangat melelahkan.

Di tengah-tengah maraknya imperialisme modern, pada abad ke-18 muncul dua tokoh muslim dengan pemikiran radikalnya. Kedua tokoh itu adalah Muhammad Ibn Abd Al-Wahab (1703-1792) dan Shah Wali Allah (1702-1762). Yang pertama bergerak di Arab dalam perjuangan memurnikan tauhid. Dengan keasadaran sejarah yang lemah, tokoh ini telah menghancurkan tempat-tempat bersejarah di Arab yang sangat berharga. Abd al-Wahab dalam dimensi tauhid mengikuti tokoh jaman klasik, Ibn Taymiyah (1263-1328), sekalipun yang terakhir ini memiliki visi keislaman yang lebih luas dari yang pertama.

Sementara Shah Wali Allah, menurut Maarif, muncul di India pada saat kekuasaan Islam di sana mulai dijajah Inggris. Berbeda dengan Abd al-Wahab, Shah Wali Allah mempunyai visi keislaman yang lebih komprehensif sebagaimana al-Ghazali (1058-1111) yang berusaha menyatukan sufisme dan syariah. Dalam peta pemikiran Islam, Abd al-Wahab dan Shah Wali Allah biasa dikategorikan sebagai wakil dari periode pra-modern.

Periode modern dalam kajian Islam ditandai oleh munculnya Sayyid Ahmad Khan (1817-1897), Jamal al-Din al-Afghani (1897-1939), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Muhammad Iqbal (1877-1938).

Selanjutnya, studi Islam semakin menemukan variannya setelah bersentuhan dengan beragamnya pendekatan kajian, terutama melalui pendekatan multi/interdisipliner di Barat pada abad ke-19 oleh para orientalis. Akan tetapi, sebagaimana dikutip Ahwan Fanani, Bernard Lewis menilai studi tentang Timur Tengah miskin perspektif. Lewis mencatat dua dorongan orang Barat untuk mengkaji Islam. Pertama, belajar lebih banyak warisan klasik yang terpelihara dalam terjemahan dan komentar berbahasa Arab. Kedua, menyokong polemik orang terpelajar Kristen melawan Islam.

Seiring dengan munculnya renaissans, muncullah alasan-alasan baru dalam studi Islam. Pertama, adanya rasa ingin tahu tentang budaya-budaya asing, khusunya fililogi klasik yang menjadi paradigma untuk memahami budaya lain. Kedua, adanya kepentingan ekonomi dan politik orang Eropa yang meningkatkan volume perjalanan ke dunia Timur. Ketiga, lahirnya studi Alkitab dan Semitis dengan menjadikan studi bahasa dan teks-teks Arab sebagi alat yang bermanfaat.[13]

Untuk menggambarkan adanya prasangka agama dan politik dalam studi keislaman oleh Barat, Edward W. Said berpendapat bahwa studi ketimuran (Islam) yang mereka lakukan merupakan disiplin keilmuan yang secara material dan intelektual berkaitan dengan ambisi politik dan ekonomi Eropa. Orientalisme telah menghasilkan gaya pemikiran yang dilandaskan pada distingsi teologis dan epistemologis antara Timur dan Barat. dalam waktu yang panjang, orientalisme Barat telah mengembangkan cara-cara pembahasan tentang Timur dengan memapankan superioritas Barat atas budaya asing. Media Barat juga sering memproyeksikan dunia Arab, yang kebanyakan penduduknya Muslim, sebagai manusia terbelakang, irasional, dan penuh nafsu birahi.[14] Pendapat Said ini menuai kritik Barat karena dianggap melakukan interpretasi yang bersifat etnosentris dan terkesan dipolitisir yang melebihi target kritiknya sendiri.

Terlepas dari polemik orientalisme Said, seiring pesatnya perkembangan studi Islam ini, diharapkan para sejarawan, ahli ilmu-ilmu sosial, dan agamawan agar saling memanfaatkan satu sama lain untuk mendapatkan validitas kajian yang memadai. Studi multi disiplin perlu difokuskan pada materi, adaptasi kreatif, dan penerapan metode pada masing-masing bidang tertentu dalam data agama. Kurangnya pengetahuan akan bahasa, sejarah, dan sejarah kebudayaan Islam yang dikaji akan membawa peneliti pada suatu permainan analisis dengan sejumlah data yang dangkal. Sehingga, metode penelitian harus selalu diperbaiki dan disesuaikan dengan data yang ada.[15]

D. Metodologi; Antara Metode dan Pendekatan


Studi Islam, sebagaimana studi yang lain pada umumnya, tidak jarang tersandung persoalan pemahaman mengenai “cara” yang dipakai. Tumpang tindihnya pemaknaan dan penggunaan istilah metodologi, metode, dan pendekatan tampak mewarnai studi ini. Akibatnya, kerumitan kajian harus ditambah dengan persoalan silang-sengkarutnya langkah-langkah studi.

Metodologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani meta, hetodos, dan logos. Meta berarati “menuju, melalui, mengikuti”, sedangkan hetodos berarti “jalan” atau “cara”. Maka, kata methodos (metode) berarti jalan yang harus dilalui untuk mencapai sesuatu. Metode merupakan langkah-langkah praktis dan sistematis yang ada dalam ilmu-ilmu tertentu yang sudah tidak dipertanyakan lagi karena sudah aplikatif. Metode dalam suatu ilmu dianggap sudah bisa mengantarkan seseorang mencapai kebenaran dalam ilmu tersebut. Oleh karena itu, ia sudah tidak diperdebatkan lagi karena sudah disepakati oleh komunitas ilmuwan dalam bidang ilmu tersebut.

Ketika metode digabungkan dengan kata logos maka maknanya akan berubah. Logos berarti “studi tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu, metodologi tidak lagi sekadar kumpulan cara yang sudah diterima (well recieved), akan tetapi berupa kajian tentang metode. Dalam metodologi dibicarakan kajian tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Pendek kata, bila dalam metode tidak ada perdebatan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan. Sebaliknya, dalam metodologi terbuka luas untuk mengkaji, mendebat, dan merefleksikan cara kerja suatu ilmu. Itulah makanya, metodologi menjadi bagian dari sistematika filsafat, sedangkan metode tidak.[16]

Adapun antara metode dan pendekatan (approach), perbedaan keduanya memang sangat tipis. Metode merupakan cara mengerjakan sesuatu (a way of doing something). Sementara pendekatan adalah cara memperlakukan sesuatu (a way of dealing with something). Perbedaan pada keduanya hanya terletak pada perlakuan atas objek. Metode cenderung menganggap objek sebagai entitas pasif, sedangkan pendekatan cenderung menganggapnya sebagai sesuatu yang aktif. Ketika seseorang ingin mengkaji Islam dan menganggapnya sebagai sebuah entitas yang aktif dan dinamis, maka sesungguhnya ia sedang melakukan pendekatan atas Islam. Namun, bila ia memperlakukan Islam sebagai objek yang statis, maka ia sedang menggunakan suatu metode terhadap Islam.[17]

Dengan demikian, istilah metodologi memiliki cakupan lebih luas karena kapasitasnya yang memuat pergerakan metode dan pendekatan sekaligus. Bahwa baik metode maupun pendekatan membutuhkan pemikiran yang matang untuk merancangnya, dan inilah yang menjadi ruang gerak metodologi. Sungguhpun demikian, khususnya dalam penggunaan istilah metodologi dan pendekatan, para ilmuwan kerapkali menganggapnya identik dengan penggunaan yang silih berganti untuk maksud yang sama. Sebagian ilmuwan ada yang menjadikan istilah metodologi untuk merancang model pendekatan yang dipilihnya, sementara sebagian yang lain mengangap pendekatanlah yang menuntun metodologi.

E. Ragam Metode dan Pendekatan dalam Metodologi Studi Islam


Sebagaimana disebutkan dalam perkembangannya, Studi Islam sudah terjadi sejak Islam itu sendiri datang di bumi. Sudah barang tentu awalnya dengan cara yang sangat sederhana. Seiring dengan perkembangan jumlah dan tingkat intelektualitas penduduk yang mengikuti agama Islam, maka cara melakukan studi Islam juga mengalami perkembangan yang beragam. Meskipun dengan tujuan yang sama, yakni mengamalkan ajaran Islam, namun cara atau pendekatannya juga berbeda pula. Apalagi jika tujuannya berbeda, seperti bagi mereka yang bertujuan “sekadar” untuk mempelajari semata.

Menurut Qodri Azizy,[18] pendekatan dalam studi Islam dapat dikelompokkan pada beberapa jenis, yaitu:

Pertama, ngaji. Pendekatan ini dimaksudkan semata-mata untuk menjalankan atau mempraktikkan ajaran Islam. Metodenya meliputi cara-cara yang sederhana dan tanpa melakukan kajian kritis. Apa yang disampaikan oleh guru ngaji (ustadz atau ulama) diterima apa adanya oleh murid yang sekaligus berusaha mengamalkannya. Peran pengajar besar sekali, karena hampir tidak pernah menerima kritik. Karena tujuannya demikian, maka yang melakukan studi Islam seperti ini bisa dipastikan beragama Islam yang memang ingin mempraktikkan ajaran Islam. Demikian pula, gurunya harus orang Islam yang bukan hanya menjadi pengajar tapi bahkan sekaligus sebagai suritauladan (role model).

Kedua, islamologi. Ini kebalikan dari yang pertama, karena menjadikan Islam sebagai pengetahuan, bukan ajaran yang diamalkan. Bahkan dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan untuk tujuan-tujuan yang negatif seperti yang pernah terjadi pada sejarah perkembangan awal orientalisme. Karena tujuannya demikian, maka baik yang belajar maupun yang mengajar tidak musti beragama Islam. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang anti terhadap Islam. Praktik studi semacam ini terjadi di negara-negara Barat, terutama sekali pada masa lalu sebelum era studi Islam secara akademik bermunculan.

Setelah studi Islam bermunculan secara akademik, yang tidak secara langsung mendiskreditkan Islam, hasilnya bisa bermanfaat bagi umat Islam sendiri terutama dalam perkembangan keilmuan Islam itu sendiri. Dalam kajian akademik ini, perkembangan berikutnya mereka melakukan studi Islam dengan beberapa pendekatan utama yang meliputi empat hal; (1) social sciences, (2) humanities, (3) divinity schools, dan (4) area studies. Artinya, orang dapat melakukan studi Islam di salah satu fakultas atau devisi dari keempat hal tersebut, dan dinobatkan sebagai islamicist (ahli Islam). Dari cara tersebut, di samping menyimpan keuntungan bagi Islam, tidak menutup kemungkinan dari mereka masih menyimpan bias masa lalu.

Ketiga, apologis. Ada masa sekaligus karakter di mana studi Islam dilakukan dalam rangka merespon model studi Islam nomor dua di atas (islamologi), terutama yang jelas-jelas mendiskreditkan Islam. Model ini banyak dilakukan oleh kelompom modernis, termasuk tidak sedikit yang berpendidikan Barat itu sendiri.

Keempat, islamization of knowledge. Pendekatan ini juga merupakan respon terhadap perkembangan keilmuan Barat. Ia bermaksud agar ilmu-ilmu sekuler dalam studi Islam mempunyai akar dan landasan tauhid. Respon ini lebih didasarkan pada kesadaran terhadap realitas keilmuan yang dianggap sekuler, bukan pada prasangka atas pendekatan sebelumnya. Biasanya, dalam trend ini, tidak dipisahkan lagi antara ilmu agama (ilmu Islam) dengan ilmu umum (sekuler). Sehingga, sasarannya adalah social sciences, humanities, dan natural sciences. Sebenarnya, dalam tinjauan Azizy, diskusi apakah setiap ilmu harus didasarkan pada al-Qur’an (agama) atau tidak, pada dasarnya telah dilakukan sebelumnya oleh al-Ghazali dalam al-Mustashfa min Ilm al-Ushul, yang menurutnya harus. Demikian pula al-Syathibi dalam al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’at dan al-Suyuthi dalam al-Itqan fi Ulum al-Qur’an juga membahas ini.

Kelima, studi Islam klasik. Model kajian yang dilakukan oleh al-Ghazali, al-Razi, al-Suyuthi, dan al-Mawardi merupakan contoh studi Islam ini. Maksudnya, mereka melakukan studi Islam secara kritis dan realistis, namun sasaran akhirnya untuk mengamalkan ajaran Islam. Disebut kritis dan realistis karena terbukti kontekstual pada masa itu, bahkan terkesan empiris.

Selain penjelasan lima model pendekatan Azizy di atas, peta pendekatan studi Islam dapat dilihat dari ragam model studi berikut ini.

Model pertama, pendekatan filsafat. Menurut Amin Abdullah,[19] dalam suatu agama mempunyai dua unsur, yaitu unsur sakralitas (taqdis al-afkar al-diniyyah) dan unsur profan (mu’amalah ma’a al-nas). Kedua unsur tersebut, jika dikaitkan dengan studi Islam, maka al-Qur’an dan hadis merupakan unsur yang pertama. Adapun selain kedua hal tersebut, dapat disebut unsur profan. Pada dasarnya pendekatan filsafat ini memiliki sifat keilmuan, inklusif, dan terbuka. Oleh karena itu, tepat jika menjadikan filsafat sebagai salah satu pendekatan dalam studi Islam. Dalam pandangan Abdullah, filsafat sebagai metodologi keilmuan ditandai tiga ciri: (1) pendekatan kajian atau telaah filsafat selalu terarah pada pencarian dan perumusan ide-ide atau gagasan yang bersifat mendasar (fundamental ideas) dalam berbagai persoalan; (2) pengenalan dan pendalaman persoalan serta isu-isu fundamental dapat membentuk cara berfikir kritis (critical thought); (3) kajian dan pendekatan filsafat yang bersifat demikian, secara otomatis akan membentuk mentalitas, cara berfikir dan kepribadian yang mengutamakan kebebasan intelektual (intellectual freedom), sekaligus mempunyai sikap toleran terhadap berbagai pandangan dan kepercayaan yang berbeda serta terbebas dari dogmatisme dan fanatisme.

Model kedua adalah pendekatan sosiologis-historis. Menurut Atho Mudzhar,[20] sosiologi dapat digunakan dalam studi Islam dengan mengambil beberapa tema: (1) studi pengaruh agama terhadap masyarakat; (2) studi pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman ajaran Islam atau konsep Islam; (3) studi tentang tingkat pengalaman keislaman masyarakat; (4) studi pola interaksi sosial masyarakat muslim; (5) studi gerakan masyarakat yang membawa paham yang menunjang atau melemahkan kehidupan beragama dalam Islam. Pendekatan ini, menurutnya, juga relevan digunakan dalam studi hukum Islam mengingat hukum Islam itu sendiri merupakan bagian dari gejala sosial yang menyejarah.

Sejalan dengan Mudzhar, Minhaji juga menjadikan pendekatan sosial dan sejarah dalam studi Islam. Bahkan, pendekatan sejarah ini juga bisa diterapkan dalam kajian hukum Islam dan ushul fiqh. Karena menurutnya, ushul fiqh selama ini cenderung menggunakan pendekatan doktriner-normatif-deduktif yang sekaligus mengabaikan sejarah. Dengan menerapkan metode sejarah dalam ushul fiqh, maka diharapkan pada saat bersamaan dapat menemukan hukum Islam yang mampu menjawab persoalan kekinian.

Model ketiga adalah pendekatan interdisipliner. Maksudnya, pendekatan interdisipliner ini meniscayakan penggunaan pendekatan studi Islam ‘ala Barat untuk dijadikan sebagai “alat bantu” dalam mengkaji kelimuan Islam. Meskipun di saat bersamaan, sebagaimana dikutip Kamaruzzaman, Fazlurrahman mengelompokkan orientalis Barat sebagai orang luar (out sider) dan ilmuwan Islam sebagai orang dalam (insider).[21] Dalam analisis Minhaji, para outsider ini sendiri terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok traditionalist yang mendasarkan kajiannya pada apa yang ditulis oleh orang Arab Muslim, terutama pada era klasik, dan kelompok revisionist yang memandang bahwa Islam sebenarnya tidak mempunyai rumusan ajaran hukum, melainkan hasil peniruan dari agama-agama sebelumnya.[22]

Namun demikian, bagi Kamaruzzaman, yang paling urgen untuk dikuasai oleh calon peneliti dalam studi Islam adalah penguasaan ilmu-ilmu dasar, yaitu ilmu kalam (teologi Islam), tasawuf (sufisme), dan ilmu fiqh beserta ushul fiqh-nya. Pendekatan dalam metode-metode di atas hanya dapat digunakan sebagai alat bantu. Dicontohkannya, ketika seseorang hendak meneliti pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam di sebuah Pengadilan Agama, maka yang mendasar harus dikuasainya adalah hakikat, sejarah, tokoh-tokoh, dan alur pemikiran hukum Islam dalam lintasan sejarah. Kemudian baru menggunakan model-model pendekatan di atas sebagai pisau analisisnya. Alasannya, jika terjadi ketimpangan, misalnya seorang peneliti cenderung menguasai metodologi namun miskin ilmu dasar, maka hasil penelitiannya “cacat” secara kualitas. Hal ini karena, ilmu dasar adalah modal penentu, sedangkan pendekatan adalah model dari penelitian yang akan dilakukan.[23]

F. Penutup

Studi Islam dengan berbagai pendekatannya akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia dan dinamika jaman. Satu pendekatan meniscayakan pendekatan berikutnya. Islam pun tidak pernah baku sebagaimana tidak pernah bakunya pemikiran manusia. Hal ini semakin menguatkan pandangan bahwa agama senantiasa berjalan di atas jalan akal, termasuk Islam yang bersumber dari wahyu sekalipun. Dengan demikian, menjadikan Islam sebagai objek studi bukan hanya layak dilakukan, tetapi harus dikembangkan.




DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normatifitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
_______________, Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Azizy, Qadri, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, Jakarta: Depag RI, 2003.
Bustaman, Kamaruzzaman, Islam Historis: Dinamika Studi Islam di Indonesia, Yogyakarta: Galang Press, 2002.
Fanani, Ahwan, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Fanani, Muhyar, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan sebagai Cara Pandang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Hakim, Atang Abd., Metodologi Studi Islam, Bandung: Rosdakarya, 2000.
Maarif, Syafii, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Marno (ed), Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana, 2005.
Minhaji, Akh., Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht, Yogyakarta: UII Press, 2001.
Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Mochtar, Affandi (ed), Menuju Penelitian Keagamaan dalam Perspektif Penelitian Sosial, Cirebon: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1996.
Nanji, Azim (ed), Peta Studi Islam; Orientasi dan Arah Baru Kajian Islam di Barat, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Al-Qurtuby, Sumanto, KH. MA. Sahal Mahfudz; Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta: Cermin, 1999.
Said, Edward, Orientalisme, Terj. Achsin muhammad, Bandung: Mizan, 1996.
S. Praja, Juhaya, Pengantar Filsafat Ilmu; Filsafat Ilmu-Ilmu Islam, Bandung: Sulita, 2003.




[1] Disampaikan dalam perkuliahan pengantar “Metodologi Studi Islam” Fakultas Syariah dan Hukum UNISNU Jepara, semester genap 2014/2015.
[2] Perdebatan antara pendekatan normatif dan pendekatan historis merupakan peristiwa sejarah pemikiran yang berlangsung sampai sekarang. Di tengah hirup-pikuk perdebatan itu, Amin Abdullah mencoba “mendamaikan”nya dengan pendekatan “interkonektifitas”. Pendekatan interkonektifitas diandaikan membuat keduanya (normatifitas dan historisitas) saling mengisi dan menguatkan, bukan saling melemahkan. Selengkapnya lihat M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normatifitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
[3] Mohammed Arkoun, “Memikirkan Kembali Islam Saat Ini”, dalam Azim Nanji (ed), Peta Studi Islam; Orientasi dan Arah Baru Kajian Islam di Barat, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), hlm. 339.
[4] Sumanto Al-Qurtuby, KH. MA. Sahal Mahfudz; Era Baru Fiqih Indonesia, (Yogyakarta: Cermin, 1999), hlm. v.
[5]Affandi Mochtar (ed), Menuju Penelitian Keagamaan dalam Perspektif Penelitian Sosial, (Cirebon: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1996), hlm. 34.
[6] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm.7
[7]Atang abd. Hakim, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2000), hlm. 58.
[8]M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 35.
[9]Juhaya S. Praja, Pengantar Filsafat Ilmu; Filsafat Ilmu-Ilmu Islam, (Bandung: Sulita, 2003), hlm. 31.
[10] Marno (ed), Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.1.
[11] Ibid., hlm. 8.
[12] Syafii Maarif, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 34-36.
[13] Ahwan Fanani, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 252.
[14] Edward Said, Orientalisme, Terj. Achsin muhammad, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 9.
[15] Ahwan Fanani, Op. Cit., hlm.254.
[16]Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan sebagai Cara Pandang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. ix.
[17] Ibid., hlm. Xxiii.
[18] Lihat Qadri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, (Jakarta: Depag RI, 2003), hlm.30-36.
[19]M. Amin Abdullah, Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 7-8)
[20] M. Atho Mudzhar, Op. Cit., hlm. 24-27.
[21] Kamaruzzaman Bustaman, Islam Historis: Dinamika Studi Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), Hlm.13.
[22]Diskusi menarik tentang hal ini dapat dilihat dalam Akh. Minhaji, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 212-256.
[23] Kamaruzzaman Bustaman, Op. Cit., hlm. 18.