Tampilkan postingan dengan label Materi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Materi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 November 2016

Karakter Yang Harus Dimiliki Seorang Pemimpin

Karakter Yang Harus Dimiliki Seorang Pemimpin Materi Lengkap
Karakter Yang Harus Dimiliki Seorang Pemimpin

Berikut adalah karakter-karakter yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin[1] :

1. Berkarakter


Karakter-karakter nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang harus dipunyai sebagai seorang pemimpin, karena nabi Muhammad adalah pemimpin yang paling berhasil sepanjang masa.

2. Visi


Setiap pemimpin harus mempunyai visi dan mampu untuk mengkomunikasikan visinya. Visi ini nantinya adalah bahan bakar dan penyulut semangat bagi para pegawai.

3. Semangat


Visi tanpa di dorong semangat adalah seperti mimpi tanpa sebuah aksi. Semangat sangatlah penting sebagai motor untuk menuju kesuksesan yang telah di definisikan di visi.

4. Komunikasi


Kepemimpinan merupakan sebuah skill dalam membangun relasi dan relasi dijalankan melalui komunikasi. Komunikasi adalah juga motor pencapaian visi melalui proses delegasi, bimbingan, pengidentifikasian tugas dan evalusi hasil kerja.

5. Kemampuan untuk membimbing


Pemimpin yang baik bukanlah seorang diktator tapi lebih sebagai supervisor yang bertugas untuk menasehati, menyemangati, mengarahkan dan memberikan penghargaan untuk pegawainya.

6. Berkontribusi pada nilai-nilai kebaikan


Pemimpin yang baik tidak hanya berorientasi pada uang dan materi yang ingin di dapat, tapi juga memiliki motivasi untuk menanamkan nilai kebaikan yang ada. Sebagai seorang pemimpin muslim, maka orientasi tidak hanya dalam bentuk materi dunia tapi juga untuk bekal akherat. Diharapkan dengan kepemimpinan yang berkarakter nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, para pegawai yang berada pada naungan kita tidak hanya sejahtera di dunia tapi juga memiliki perbaikan-perbaikan akhlak.

7. Kolaborasi


Pemimpin yang tentunya ditandai dengan bisa bekerjasama dengan banyak pihak. Karena tanpa kerjasama yang baik, maka usahapun tidak bisa berkembang, malah cenderung menuju kehancuran.

8. Pencari Ilmu


Seorang pemimpin terus-terusan menambah ilmunya untuk bisa menghadapi tantangan yang ada. Terkadang masalah tidak bisa diselesaikan karena kurangnya pengetahuan kita tentang cara menyelesaikan masalah tersebut. karena itu pemimpin yang baik harus banyak membaca dan rajin mengikuti pelatihan- pelatihan yang bisa meningkatkan kapabilitasnya.

9. Win-Win Solution


Tidak ada seorangpun yang mau rugi dan dirugikan, pemimpin yang baik harus mampu menciptakan suatu kondisi win-win solution jika terdapat suatu masalah di dalam perusahaan. Jangan menggunakan kekuasaan untuk menekan bawahannya demi mencapai apa yang dia inginkan. Berusahalah untuk bernegosiasi dan menentukan solusi yang terbaik bagi semua pihak

Dari semua sifat kepemimpinan diatas saya memiliki sifat yang semangat, inovatif dan kreatif


[1] http://pengusahamuslim.com/sifat-kepemimpinan-yang-harus-dipunyai-1863/

Senin, 07 November 2016

Resensi Buku Akhlak Tasawuf



Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya yang tak terhingga, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan resensi buku yang berjudul “AKHLAK TASAWUF” tepat pada waktunya. Shalawat serta Salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Baginda Nabi Agung Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya.

Dalam penyusunan resensi buku ini, penulis menyadari telah melibatkan banyak pihak turut serta berpartisipasi baik langsung maupun tidak langsung. Partisipasi yang membawa andil dalam penulisan ini berupa bimbingan, motivasi maupun materi yang tiada ternilai harganya bagi penulis. Guna menghargai seluruh kontribusi yang telah diberikan pihak-pihak yang terkait. Sudah selayaknya penulis menyampaikan rasa terimakasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Drs. H. Barowi, M.Ag. selaku dosen mata kuliah Ilmu Tasawuf

2. Kedua orang tua yang selalu mendo’akan serta mendukung saya dari belakang menuju kesuksesan.

Adapun tujuan penulisan resensi ini adalah untuk memenuhi tugas individu mata kuliah “Ilmu Tasawuf” pada semester genap. Saya berharap resensi ini dapat memberikan manfaat serta suatu dampak positif bagi kita semua.

Resensi buku Akhlak Tasawuf ini memang jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan arah yang lebih baik. Semoga buku ini dapat membuka cakrawala yang lebih luas bagi pembaca serta menambah pengetahuan dan semoga dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin..

Jepara, 27 Juni 2015





Identitas Data Buku


Judul Buku : AKHLAK TASAWUF
Pengarang : Dr. H. Jamil, MA.
Penerbit : Referensi
ISBN : 978-979-915167-4
Edisi/cet : Pertama
Tahun Terbit : 2013
Bahasa : Indonesia
Jumlah Halaman : xii + 244 hlm.
Jumlah Bab : 12 Bab
Kategori : Agama
Design Cover : Kultural
Layout Isi : Rio QQQ
Ukuran : 14,8 x 21 cm

Pendahuluan


Ulasan Pembahasan

Bab I : AKHLAK


A. Pengantar

Misi risalah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW adalah menyampaikan kepada dunia tentang keesaan Allah dan upaya memperbaiki kondisi kehidupan manusia dalam bingkai Islam sekaligus memperbaiki akhlak manusia.

B. Pengertian Akhlak

Akhlak adalah suatu keadaan dalam jiwa yang tetap yang memunculkan suatu perbuatan secara mudah dan ringan tanpa perlu pertimbangan pikiran dan analisa.

C. Ruang Lingkup Akhlak

Akhlak dapat dimanifestasikan ke dalam berbagai ruang lingkup seperti:

1. Akhlak terhadap Khaliq (Pencipta)

Sikap ini dimanifestasikan dalam bentuk kepatuhan menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

2. Akhlak terhadap Makhluk

Dalam konteks hubunga sesama muslim, maka Rasulullah SAW mengumpamakan bahwa hubungan tersebut sebagai sebuah anggota tubuh yang saling terkait dan merasakan penderitaan jika salah satu organ tubuh tersebut mengalami sakit.

D. Akhlak Kepada Lingkungan

Manusia adalah makhluk Allah sejak dahulu merasa mampu melaksanakan amanah yang diberikan Allah kepadanya baik dalam bentuk peribadahan kepada Allah maupun memelihara bumi dan langit tersebut dari kerusakan yang dibuat oleh tangan mereka.

E. Perbedaan Akhlak, Etika dan Moral

Etika membahas perbuatan manusia namun bersumber pada akal pikiran dan filsafat. Moral adalah sebuah ukuran baik dan buruk yang diakui oleh sebuah komunitas masyarakat atau kelompok tertentu yang menyepakatinya baik didasarkan pada agama atau tidak.

F. Kajian Akhlak Dalam Lintasan Sejarah

Kajian akhlak dalam sejarah dapat ditemukan pada sejarah Yunani. Kajian-kajian ini berkutat pada masalah etika, moral, dan tingkah laku yang bersumber pada pemikiran tokoh-tokohnya seperti Socrates, Plato dan Aristoteles dan di era Islam dengan tokoh-tokohnya yaitu Al-Ghazali, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Mikawaih.

G. Kedudukan Akhlak Dalam Ajaran Islam

Ajaran Islam terdiri dari tiga komponen yaitu Islam, Iman dan Ihsan, tiga komponen tersebut saling terkait dan dapat dianggap sebagai sebuah tindakan akhlak terpuji.

H. Akhlak Terpuji dan Tercela

Akhlak terpuji meliputi karakter-karakter yang diperintahkan Allah dan Rasul seperti: rasa belas kasihan dan lemah lembut, pemaaf, dapat dipercaya dan menepati janji, manis muka dan tidak sombong, malu, sabar, tolong-menolong dan lain-lain.

Sedangkan akhlak tercela meliputi: egois, kikir, berdusta, khianat, pengecut, menggunjing, dengki, berbuat kerusakan, berlebih-lebihan, berbuat zalim dan berbuat dosa besar.

I. Kriteria Seseorang Telah Mencapai Tingkatan Akhlak Terpuji

Empat kriteria seseorang telah mencapai tingkatan akhlak terpuji menurut Imam Ghozali adalah: bijaksana, menjaga kesucian diri, berani dan adil.

J. Hubungan Akhlak dan Tasawuf

Akhlak merupakan awal perjalanan tasawuf, sedang tasawuf merupakan akhir perjalanan akhlak.

K. Urgensi Akhlak di Jaman Modern

Kehidupan modern yang cenderung bisa menyebabkan dehumanisasi (tercerabutnya nilai-nilai kemanusiaan) dan alienasi (merasa terasing dalam kehidupan) memerlukan terapi konkret berupa keharusan manusia untuk dekat kepada Allahda memperbaiki hubungan sosialnya dengan manusia lain.

L. Akhlak Dalam Kehidupan Keluarga

Keluarga sebagai organisasi sosial terkecil memainkan peran yang signifikan dalam menyebarkan nilai-nilai akhalak kepada masyarakat. Sebuah komunitas masyarakat yang dilandasi nilai-nilai akhlak yang mulia biasanya diawali dari keluarga-keluarga yang memiliki akhlak yang baik.

Bab 2: Pengertian, Dasar-Dasar & Sejarah Asal Usul Tasawuf


A. Memahami Arti dan Tujuan Tasawuf

Kata tasawuf berkonotasi pada kebijakan, keucian hati dari godaan hawa nafsu, memutuskan ketergantungannya dengan kehidupan material yang dapat mengganggu hubungan dengan Tuhan, hidup dalam kezuhudan dan menenggelamkan diri dalam ibadah sehingga semakin dekat dengan-Nya.

Tasawuf berkutat pada kegiatan-kegiatan pembersihan jiwa, mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, cara-cara suluk dan mendekatkan diri dan berada di hadirat Allah.

B. Dasar-Dasar Ajaran Tasawuf Dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kitab yang di dalamnya ditemukan sejumlah ayat yang berbicara atau paling tidak berhubungan dengan hal-hal yang terdapat di dalm tasawuf di antaranya sebagai berikut:

واذكر الله كثيرًا لعلّكم تفلحون (الأنفال: ٤٥)

“dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”

C. Dasar-Dasar Dari Sunnah Rasulullah SAW

Ajaran tasawuf pada dasarnya digali dari Al-qur’an dan Al-Sunnah, karena amalan para sahabat, tidak keluar dari ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah, seperti hadist ini:

.....أعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك (متفق عليه)

“sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak melihat-Nya, maka Ia pasti melihatmu. (HR. Bukhari dan Muslim).

D. Kontroversi Asal Usul Tasawuf

1. Unsur Nashrani

Dari literatur tasawuf terlihat bahwa ada beberapa hal yang dikatakan bersumber dari agama Nasrani. Di antaranya sifat fakir, karena menurut keyakinan Nashrani bahwa Isa adalah orang yang fakir dan Injil juga disampaikan kepada orang fakir.

2. Unsur Hindu-Budha

Paham fana yang ada dalam tasawuf dikatakan hampir sama dengan nirwana dalam agama Budha, dimana agama Budha mengajarkan pemeluknya untuk meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplatif.

3. Unsur Yunani

Ada penetrasi budaya Yunani ke dalam budaya Islam lewat bacaan-bacaan yang diterjemahkan. Disadari atau tidak bacaan-bacaan tersebut telah mempengaruhi orang-orang Islam khususnya dalam bidang filsafat.

4. Unsur Persia

Belum ditemukan dalil yang kuat yang menerangkan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia melalui ahli-ahli tasawuf.

E. Komentar

Jika tasawuf diidentikkan dengan khouf, raja’, zuhud, tawakkal, ridha, mahabbah, ma’rifah dan lainnya, maka Rasulullah dan para sahabatnya telah mempraktekkan hal ini. Mereka bisa mengamalkan hal itu tanpa dengan buku-buku Persia, Hindu-Budha dan lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tasawuf bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah, meskipun dalam perkembangannya mungkin banyak pengaruh-pengaruh asing dan sudah bnyak perubahan.

F. Istilah Syari’at Dan Hakikat

Syari’at meliputi seluruh aspek kehidupan, baik aqidah, ibadah maupun mu’amalah dan juga akhlak. Di kalangan para sufi, syari’at berarti amal ibadah lahiriah (eksoterik).

Hakikat dalam pandangan tasawuf adalah inti atau rahasia yang paling dalam dari syari’at dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh seorang sufi.

Bab 3: Pengenalan Tasawuf Akhlaqi dan Falsafi


A. Sejarah Ringkas

Tasawuf dibagi menjadi dua bagian: tasawuf akhlaqi (konsentrasinya pada teori-teori perilaku, akhlak atau budi pekerti) dan dikembangkan oleh ulama-ulama salaf, dan tasawuf falsafi (yang didasarkan pada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat dikembangkan oleh ahli sufi sekaligus filosof.

1. Abad Pertama dan Kedua Hijriyah

Pada periode ini tasawuf masih dalam bentuk kehidupan asketis (zuhud). Tokoh-tokohnya dari golongan sahabat yaitu Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Ammar bin Yasir, Hudzaifah bin Al-Yaman dan lain-lain. Dan dari golongan tabi’in yaitu Hasan Al-Bashri, Malik bin Dinar, Ibrahim bin Adham, Rabi’ah Al-Adawiyah dan lain-lain.

2. Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah

Tasawuf mulai berkembang dan di fokuskan kepada tiga hal: a) jiwa tasawuf yang berisi cara pengobatan jiwa, b) akhlak, tasawuf yang berisi teori-teori tentang bagaimana berakhlak mulia dan menghilangkan akhlak buruk, c) metafisika, tasawuf yang berisi teori ketunggalan hakikat Ilahi atau kemutlakan Tuhan. Tokoh-tokohnya Ma’ruf Al-Karkhi, Surri Al-Saqti, Dzun Nun Al-Mishri, Abu Yazid Al-Busthami dan lain-lain.

3. Abad Kelima Hijriyah

Pada periode ini lahirlah seorang tokoh sufi besar Al-Ghazali yang melancarkan kritik-kritik tajam terhadap berbagai aliran filsafat dan kepercayaan kebatinan dan berupaya mengembalikan tasawuf kepada ajaran yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Tokoh-tokohnya adalah Al-Qusyairi dan Al-Harawi.

4. Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah

Kembali munculnya tokoh-tokoh sufi yang memadukan tasawuf dengan filsafat dengan teori-teori yang tidak murni tasawuf dan juga tidak murni filsafat yang lebih dikenal dengan nama tasawuf falsafi. Tokohnya adalah As-Suhrawardi, Mahyuddin Ibn ‘Arabi, Ibn Sab’in dan lain-lain.

5. Abad Kedelapan Hijriyah dan seterusnya

Pada periode ini tasawuf mengalami kemunduran, itu semua karena orang-orang yang berkecimpung di dalam tasawuf kegiatannya terbatas pada komentar-komentar atau meringkas buku-buku tasawuf terdahulu serta memfokuskan pada aspek-aspek praktek ritual yang lebih berbentuk formalitas sehingga semakin jauh dari substansi tasawuf.

B. Tasawuf Akhlaqi

Adalah tasawuf yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak. Untuk menghilangkan penghalang yang membentengi manusia dengan Tuhannya, ada tiga tahapan yang harus dijalani yaitu:

1. Takhalli, yaitu usaha membersihkan diri dari semua perilaku tercela, baik maksiat batin maupun maksiat lahir.

2. Tahalli, yaitu tahapan pengisian jiwa setelah dikosongkan dari akhlak-akhlak tercela.

3. Tajalli, yaitu tersingkapnya nur ghaib.

Untuk melanggengkan dan memperdalam rasa kedekatan dengan Tuhan, para sufi mengajarkan munajat, muhasabah, muraqabah, kastrat al-dzikr, dzikr al-maut dan tafakkur.

C. Tasawuf Falasafi

Tasawuf jenis ini tidak dapat dikategorikan sebagai tasawuf dalam arti yang sesungguhnya karena teori-teorinya lebih berorientasi pada pantheisme. Juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan kepada rasa atau dzauq.



Bab 4: Maqamat dan Ahwal


A. Maqamat (Stages)

Maqamat adalah tingkatan seorang hamba di hadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya. Maqamat meliputi: taubat, zuhud, sabar, tawakkal dan ridha.

B. Ahwal (States)

Ahwal adalah suatu kondisi keadaan jiwa yang diberikan Allah tanpa upaya dari orang yang berkenaan. Ahwal meliputi: muraqabah, mahabbah, khawf (takut), raja’ (berharap), al-syauq (rindu) dan al-uns (intim).

C. Metode Irfani

Penyingkapan pengetahuan dengan sarana qalb yang suci merupakan lingkup irfaniyah, di mana ma’rifah hanya dapat diperoleh seseorang setelah memiliki qalb yang suci. Dalam metode irfani ada beberapa tahapan untuk mencapai ma’rifah yaitu riyadhah, tafakkur, tazkiyah al-nafs dan dzikrullah.

Bab 5: Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Filasafat, Fiqih dan Ilmu Jiwa Agama


A. Ilmu Dalam Pandangan Kaum Sufi

Ilmu dalam Islam dibagi atas dua bagian yaitu ilm al-muktasab (diperoleh lewat proses pembelajaran) dan ilm ladunni (tanpa proses pembelajaran). Para sufi sangat menghargai ilm muktasab, hal ini terlihat dari guru-guru kaum sufi yang mencapai tingkatan tinggi dalm penguasaan berbagai ilmu seperti Imam Ghazali, Ibn ‘Arabi dan lain-lain. kalaupun ada yang tidak menghargai atau bahkan mengecam ilmu, maka itu hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu.

B. Hubungan Ilmu Tasawuf Dengan Ilmu Kalam

Ilmu kalam menjelaskan bahwa Allah itu Esa, Maha Pengasih dan Penyayang, maka ilmu tasawuf mengemukakan bahasan bagaimana merasakan Esa dan kasih sayang Tuhan tersebut.

C. Hubungan Ilmu Tasawuf Dengan Ilmu Fiqh

Ilmu tasawuf memberikan unsur-unsur batiniyah kepada fiqih. Fiqih akan terasa sangat lahiriyah dan formalistik atau terasa amar kering tanpa tasawuf. Sebaliknya fiqh pula memberikan aturan-aturan yang dengannya tasawuf terhindar dari kebenaran sendiri yang batiniyah tanpa memerhatikan aturan-aturan lahiriyah.

D. Hubungan Ilmu Tasawuf Dengan Filasafat

Filsafat telah memberikan sumbangan dalam dunia tasawuf. Kajian-kajian filsafat tentang roh banyak dikembangkan dalam tasawuf, khususnya tasawuf falsafi.

E. Hubungan Ilmu Tasawuf Dengan Ilmu Jiwa

Di dalam tasawuf juga dibahas hubungan antara jiwa dan jasmani. Hal ini bertujuan untuk melihat sejauh mana hubungan perilaku manusia dengan dorongan yang dimunculkan oleh jiwanya sehingga perbuatan tersebut dapat terjadi.

Bab 6: Tasawuf Akhlaqi


A. Hasan Al-Basri

Nama lengkapnya, Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar lahir di Madinah 21 H (642 M), dan meninggal di Bashrah 110 H (728 M). beliau terkenal di kalangan tabi’in sebagai orang yang zahid. Kezahidannya didasarkan kepada rasa takut (khouf) yang mendalam kepada Allah.

B. Al-Muhasibi

Nama lengkapnya Abu Abdillah Al-Haris bin Asad Al-Bashri Al-Muhasibi (165-243 H) lahir di Bashrah. Beliau adalah seorang sufi yang menyatukan antara ilmu syari’at dan ilmu hakikat.

C. Al-Qusyairi

Nama lengkapnya ‘Abd Al-Karim bin Hawazin Qusyairi, lahir di Istiwa’ Nais (376-465 H). Beliau mengadakan pembaharuan terhadap tasawuf, Ia mengemukakan konsep-kkonsep mengompromikan antara syari’at dan hakikat, antara dzahir dan yang bathin dengan senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

D. Al-Ghazali

Beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Al-Tusi Al-Syafi’i Al-Ghazali. Lahir di Gazalah daerah Tus wilayah Khurusan Iran. Dalam tasawuf Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan doktrin Ahl As-Sunnah wal Jama’ah. Dia menjauhkan tasawufnya dari kecenderungan gnostis dan teori-teori ketuhanan menurut Aristoteles (emanasi dan penyatuan).

Bab 7: Tasawuf Irfani


A. Rabi’ah al-Adawiyah

Rabi’ah Al-Adawiyah dianggap sebagai seorang sufi yang meletakkan dari konsep zuhud berdasarkan cinta (al-hubb).

B. Dzun al-Nun al-Mishri

Beliau adalah orang pertama di Mesir yang membicarakan masalah ahwal dan maqamat para wali. Beliau juga dipandang sebagai bapak faham ma’rifah. Menurutnya ma’rifah ada tiga macam 1. ma’rifah orang awam, 2. ma’rifah para teolog da filosof, 3. ma’rifah para wali-wali Allah.

C. Al-Junaid

Al-Junaid terkenal dengan konsep tauhidnya yang didasarkan pada kefanaan. Dimana pemahaman akan hakikat Allah tidak akan dapat dicapai dengan akal fikiran tetapi melalui kefanaan yang mana kefanaan ini sendiri adalah pemberian dari Tuhan.

D. Al-Bustami

Di dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid dianggap sebagai pembawa faham fana’ dan baqa’ dan sekaligus pencetus faham ittihad.

E. Al-Hallaj

Ada tiga ajaran pokok tasawuf Al-Hallaj yaitu: (1) hulul, (2) haqiqah Muhammadiyah dan (3) wahdah al adyan.

Bab 8: Tasawuf Falsafi


A. Ibn ‘Arabi

Di antara ajaran terpenting Ibn ‘Arabi adalah wahdat al-wujud, yaitu faham bahwa manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.

B. Al-Jilli

Al-Jilli termasuk dalam kelompok sufi yang berpandanga bahwa yang ada ini adalah tunggal, semua perbedaan pada hakekatnya hanyalah modus, aspek dan manifestasi fenomenal (lahiriyah) dari realitas tunggal tersebut. Allah adalah substansi dari yang ada ini. Substansi yang dinamakan Al-Jilli dengan Zat Mutlak ini, memanifestasikan diri melaluui tiga taraf, yaitu: ahadiyah, huwiyah dan aniyah.

C. Ibn Sab’in

Ibn Sab’in mempunyai teori al-ihathah yaitu bahwa wujud secara keseluruhan adalah satu kesatuan. Menurutnya wujud berdasarkan jenisnya terbagi tiga: 1. Wujud muthlaq, yaitu Allah sendiri, 2. Wujud muqayyad, suatu wujud zat yang bergantung kepada wujud lainnya, 3. Wujud muqaddar, segala peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Bab 9: Seputar Tarekat (Thariqah)


A. Pengertian Tarekat



B. Tarekat Yang Berkembang Di Indonesia

C. Argumentasi Beberapa Praktek Praktis Tarekat

Bab 10: Tasawuf di Indonesia


A. Aliran Tasawuf Falsafi (Hamzah Al-Fansuri)

B. Aliran Tasawuf Sunni (Ar-Raniri Dan Al-Palembani)

1. Ar-Raniri

2. Al-Palembani

C. Tasawuf Modern (Hamka)

Bab 11: Seputar Tasawuf Syar’i


A. Meluruskan Penyimpangan

1. Syari’ah Dan Haqiqah (Hakikat)

2.

3. Motivasi Ibadah

4. Wahdat Al-Wujud

5. Hormat Kepada Syaikh

6. Jihad

7. Pengangguran

8. Komentar

B. Merumuskan Landasan Tasawuf Syar’i

Bab 12: Penutup




Kelebihan

1. Kelebihan dari buku ini adalah mampu memberikan informasi tentang akhlak, mulai dari pengertian secara umum hingga pada hal-hal yang sangat penting dalam proses pembentukan akhlak al-karimah.

2. Terdapat keterangan pada kata-kata asing.

3. Penjelasannya sangat rinci.

4. Dalam penjelasanya memberikan ta’rifnya secara teologis dan dapat menggambarkan dalam sejarah-sejarahnya.

Kekurangan

1. Sebagian ayat Al-Qur’an, lafadz hadist dan maqolah ulama ada yang berharakat dan ada yang tidak berharakat.

2. Bahasanya sedikit sulit difahami dalam segi pengertianya

3. Masih adanya kesalahan penulisan di beberapa tempat.

4. Biografi pengarang tidak dicantumkan, jadi kurang bisa memahami sejarah sekaligus back ground dari penulis sendiri.

5. Tidak adanya indeks untuk kata-kata yang sulit dimengerti.

6. Tidaka adanya Glosarium sebagai penjelasan dalam kaliamat yang sulit untuk difahami.





Penutup


Alhamdulilah telah sampailah pada akhir bacaan resensi dalam buku Akhlak tashawuf, semoga pembaca dapat lebih jeli dalam membaca dan memberikan penilaian serta pandangan dalam bebagai sudut pandang. Karena dapat menjadi tolak ukur pemahaman isi dalam buku yang sudah dibaca.

Harapan penulis semoga bisa diberikan saran, da nada keperdulian sehingga menimbulkan kritikan untuk penulis supaya dapat lebih menghasilkan resnsi yang sempurna, walaupun dalam resnsi yang telah dibuat sangat jauh dari kata sempurna.

Masyarakat Madani

Ciri-ciri Masyrakat Madani Materi Lengkap
Ciri-ciri Masyrakat Madani Materi Lengkap

A. Pendahuluan


1. LatarBelakang

Masyarakat Madani diprediksi sebagai masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama. Demikian pula, bangsa Indonesia pada era reformasi ini diarahkan untuk menuju masrakat madani, untuk itu kehidupan rakyat Indonesia akan mengalami perubahanyang fundamentalyang tentu akan berbeda dengan kehidupan masyrakat Indonesia pada orde baru.

karena dalam masyarakat madani yang dicita-citakan dikatakan akan memungkinkan “terwujudnya kemandirian masyarakat, terwujudnya nilai-nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan, dan kemajemukan (pluralisme)”, serta taqwa, jujur, dan taat pada hukum negara.

Masyarakat Madani merupakan tuntutan baru yang memerlukan berbagai terobosan di dalam berpikir, penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan. Dengan kata lain, dalam menhghadapi perubahan masyarakat dan zaman.

2. RumusanMasalah

a. Apa yang dimaksud Masyarakat Madani itu?

b. Bagaimana ciri-ciri Masayarakat Madani?

c. Apa karakteristik Masyarakat Madani?

d. Apa Nilai-nilai yang terkandung dalam Masyarakat Madani?



3. Tujuan

a. Pembaca dapat memahami Masyarakat Madani.

b. Agar pembaca mengerti bagaimana karakteristik Masrakat Madani.

c. Pembaca mengetahui ciri-ciri Masyarakat Madani.


B. Pembahasan


1. Masyarakat Madani


Istilah madani secara umum dapat diartikansebagai adab atau beradab. Masyarakat madani dapat diartikan sebagai suatu masyarakatyang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupanya. Masyarakat madani disebut pula dengan civil society. Civil society berasal dari kata civillis societas yang merupakan bahasa Latin. Masyarakat madani tidak terbentuk begitu saja karena ada persyaratan yang harus dipenuhi, seperti adanya keterlibatan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama. Kontrol masyarakat dalam proses pemerintahan, serta keterlibatan dan kemerdekaan rakyat dalam memilih pemimpinya.

Civil society merupakan wilayah publik yang diciptakan dan dijalankan oleh warga negara biasa ( bukan oleh pejabat pemerintah). Adapun pendapat beberapa ahli mengenai masyarakat madani, antara lain, sebagai berikut.

a. Riswanda Imawan

Masyarakat madani merupakan konsep keberadaan suatu masyarakat yang dalam batas-batas tertentu mampu memajukan dirinya sendiri melalui penciptaan aktivitas mandiri, dalam satu ruang gerak yang tidak memungkinkan melakukan intervensi.

b. Zbigniew Rau

Masyarakat madani adalah sebuah ruang dalam masyarakat bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan negara, yang diekspresikan dalam gambaran ciri-cirinya, yakni individualis, pasar (market) dan pliralisme.

c. Eisenstadt

Civil society adalah sebuah masyarakat baik secara individual maupun secara kelompok, dalam negara maupun berinteraksi dengan negara secara independen.

d. Nicos Mouzelis

Civil society adalah tatanan sosial, dimana ada perbedaan yang jelas antara bidang individu, bidang publik dan tingkat mobilitas sosial dari warga masyarakat.

e. Anwar Ibrahim

Masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dan kestabilan masyarakat.

Secara umum, civil society dapat juga diartikan suatu corak kehidupan masyarakat yang terorganisasi, mempunyai sifat kesukarelaan, keswadayaan, kemandirian, namun mempunyai kesadaran hukum yang tinggi.

Meskipun masyarakat madani bebas dari pengaruh kekuasaan negara dan dikatakan mandiri, namun tidak berarti terbebas dari tatanan hukum yang dibuat oleh pemerintah. Oleh karena itu, kemandirian harus tetap dijalankan sesuai aturan hukum yang berlaku.

Larry Diamond berpendapat bahwa civil society melingkupi kehidupan sosial terorganisasi yang terbuka, suka rela, lahir secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai bersama.

Menurut Larry Diamond yang dapat disebut sebagai civil society adalah sebagai berikut.

a. Perkumpulan dan jaringan perdagangan yang produktif.

b. Perkumpulan keagamaan, kesukuan, kebudayaan yang membela hak-hak kolektif, nilai-nilai, kepercayaan, dan lain sebagainya.

c. Organisasi-organisasi yang bergerak dibidang produksi dan penyebaran pengetahuan umum, ide-ide, berita, dan informasi publik.

d. Gerakan-gerakan perlindungan konsumen, perlindungan hak-hak perempuan, perlindungan etnis minoritas, perlindungan kaum cacat, perlindungan korban diskriminasi, dan sebagainya.



2. Ciri-ciri Masyarakat Madani


Untuk mewujudkan masyarakat madani dalam suatu negara demokratis, harus ada upaya yang nyata dari pihak pemerintah dan rakyat. Terwujudnya masyarakat madani didukung oleh masyarakat yang mandiri, dan peradaban yang telah maju. Kemajuan peradaban dapat dilihat dari tingkat pendidikan maupun pemikiran masyarakatnya. Kesediaannya aktif dalam pemerintah, cerdas, kreatif, dan siap menghadapi setiap tantangan.

Masyarakat madani bukan tipe masyarakat yang pasif dan pasrah menerima keadaan, melainkan masyarakat yang aktif dan mau melibatkan diri dalam mewujudkan suatu perubahan ke arah yang lebih baik.

Prof. Dr. A.S. Hiakam mengemukakan ciri-ciri pokok masyarakat madani sebagai berikut.

a. Kesukarelaan

Keanggotaan masyarakat madani bersifat sukarela, tanpa paksaan. Jadi, kesediaan menjadi anggota karena pemahaman dan kesadaran akan pentingnya tercipta masyarakat madani demi tercapainya tujuan bersama. Dengan sifat tersebut, maka tanggung jawab masing-masing pribadi pun terasa kuat.

b. Keswasembadaan

Keanggotaan masyarakat madani bisa hidup mandiri, tidak tergantung pada orang lain ataupun negara dan lembaga-lembaga lainnya. Para anggota mempunyai kepercayaan diri yang tinggi untuk berdiri sendiri dan membantu sesama lain yang kekurangan. Keanggotaan yang penuh percaya diri tersebut adalah anggota yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri ataupun masyarakat.

c. Kemandirian Yang Tinggi Terhadap Negara

Para anggota masyarakat madani adalah manusia-manusai yang percaya diri sehingga tidak bergantung pada perintah orang lain termasuk negara. Bagi mereka, negara adalah kesepakatan bersama sehingga tanggung jawab yang terlahir dari kesepakatan tersebeut merupakan tuntutan dan tanggung jawab dari masing-masing anggota. Inilah negara yang berkedaulatan rakyat.

d. Keterkaitan pada Nilai-Nilai Hukum yang Disepakati Bersama

Hal ini berarti bahwa suat masyarakat madani adalah suatu masyrakat yang berdasarkan hukum bukan negara kekuasaan.

Adapun menurut Nurcholis Madjid ciri-ciri masyarakat madani adalah sebagai berikut.

1) Semangat egalitarianisme atau kesetaraan.
2) Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi, bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain.
3) Keterbukaan.
4) Partisipasi seluruh anggota masyarakat.
5) Penentuan kepemimpinan melalui pemilihan.

Selain ciri-ciri pokok tersebut terdapat karakteristik masyarakat madani yang perlu kita pelajari karena dalam upaya mewujudkan masyarakat madani diperlukan prasyarat-prasyarat yang bersifat universal.

Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut.

a) Ruang Publik yang Bebas

Yaitu adanya ruang publik bebas sebagai sarana dalam mengemukaan pendapat. Menurut Aredt dan Habermas ruang publik secara teoritis diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik.
 
b) Demokratis

Merupakan satu identitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh dalam menjalankan aktifitas kesehariannya, termasuk berinteraksi dengan lingkungannya. Demokrasi berarti masyarakt dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras, budaya, dan lain-lain. Demokrasi dapat terwujud melalui penegakan pilar-pilar demokrasi yang meliputi:

a) Lembaga swdaya Masyarakat (LSM)
b) Pers yang bebas
c) Supremasi hukum
d) Perguruan tinggi
e) Partai politik


c) Toleran

Toleran adalah sikap yang saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan orang lain.

d) Pluralisme

Menurut Nurcholis Madjid konsep pluralisme adalah pertalian sejatikebhinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Pluralisme harus dipahami secara mengakar dangan menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari-hari.

e) Keadilan Sosial

Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Sehingga dengan adanya keadilan memungkinkan tidak adanya monopoli atau pemusatan salah satu aspek kehidupan suatu kelompok masyarakat.

Hal yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia

a) Kebhinnekaan masyarakat, dimana kelompok-kelompok masyarakat yang ada saling hidup berdampingan , tolong-menolong dan saling menghargai dan dapat hidup dengan damai.

b) Treselenggaranya negara yang demokratis baik dalam kehidupan bermsyarakat dan berbangsa, dimana hak-hak warga negara diakui dan dilindungi, baik oleh aparat maupun masyarakat sendiri

c) Bahwa untuk memelihara tata tertib dalam masyarakat, maka hukum sebagai pranata pengatur kehidupan masyarakatguna menyelenggarakan kepastian hukum dan keadilan perlu dijinjung tinggi baik oleh anggota masyarakat maupun oleh pemerintah.

d) Untuk mewujudkan masyarakat yang beretika dan bermoral yang tinggi, baik oleh warga negara maupun aparat pemerintah sehingga tindakan-tindakan tercela tidak dilakukan. Namun, bilamana terjadi juga maak hkum akan diberlakukan kepada pelakunya, siapapun dia.

Perkembangan masyarakat madani berada pada tiap-tiap negara. Bahkan, bagi negara yang sudah maju pun, bisa berbeda satu sama lain. Karena dalam menentukan tingkat perkembangan madani perlu mempertimbnagkan beberapa faktor, seperti dimensi kultural (kebudayaan), dan identitas kebersamaan (rasa etnisitas, agama, ideologi, dan lain-lain).



3. Demokratisasi Menuju Masyarakt Madani (Civil society)


Demokratisasi berarti pendemokrasian, bersifat demokratis, atau berarti demokrasi. Dapat diartikan pula bahwa demokratisasi adalah proses pelaksanaan demokrasi dalam proses kehidupan politik, kenegaraan dan kemasyarakatan.

Demokratisasi dalam pelaksanaan pemerintahan ditunjukkan melalui ciri-ciri sebagai berikut.

1) Setiap kebijakan yang diputuskan pemerintah selalu melibatkan keikutsertaan anggota masyarakat (participation).

2) Tanggap terhadap aspirasi yang berkembang dibawah.

3) Bertumpu pada penegakan hukum dan aturan hukum (law enforcement and rule of law)

4) Terbuka pada keanekaragaman anggotanya (inclusivines).

5) Bertumpu pada konsensus (consensus)

6) Dapat dipertanggungjawabkan pada anggotanya (accountability)

7) Efisien, efektif, stabil dan bersih (cheks and balance)

8) Adanya proses yang transparansi (transparancy)

Sebuah negara demokrasi diindakasikan dengan pengakuan hak asasi manusia. Selain itu, masih terdapat unsur-unsur yang harus diterapkan oleh sebuah negara demokrasi. Karena dalam negara demokratislah dapat tumbuh dan berkembang masyarakat madani. Sebaliknya jika masyarakat madani berkembang dengan baik, maka proses demokratisasi juga berkembnag dengan baik.

Masyarakat madani mencerminkan kehidupan masyarakat yang mandiri, cerdas, beradab, sejahtera, memiliki tingkat kemampuan yang tinggi, serta mampu bersikap kritis/peka terhadap kehidupan sosial dan berpartisipasi dalam menghadapi persoalan sosial. Terwujudnya masyarakat madani bergantung pada komponen pokok, yaitu masyarakat dan pemerintah. Kadua komponen tersebut harus saling mendukung dan bekerja sama.

Pemerintah harus memberi akses yang mudah bagi masyarakat untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan, harus terbuka saat menerima kritikan dari rakyat. Sebaliknya rakyat harus percaya pada kinerja pemerintah. Meskipun mempunyai hak untuk mengeluarkan aspirasi dan kritikan, hal tersebut harus dilakukan secara wajar, artinya tidak melampaui ketentuan yang berlaku.

Situasi politik di Indonesia saat ini kita rasakan mulai mengindikasikan terwujudnya masyarakat madani. Hal ini dapat dilihat dengan aktifnya rakyat aktif menyuarakan aspirasinya, walaupun hanya melalui aksi demonstrasi. Namun hal tersebut efektif karena peemrintah pun mulai bersedia merespon suara-suara rakyat.

Indikasi lainnya juga terlihat dari seringnya rakyat melakukan diskusi atau musyawarah, yang cenderung masyarakat menyelesaikan masalah secara kekeluargaan, dan senantiasa menghargai pendapat orang lain.

Namun mewujudkan masyarakat madani bukan berarti tanpa hambatan. Apalagi dengan adanya perbedaan suku, ras, budaya, agama maupunj kepentingan satu sama lain. Oleh karena itu dibutuhkan beberapa syarat untuk mewujudkan masyarakat madani, yaitu sebagai berikut.

a. Keyakinan


Menumbuhkan keyakinan pada masyarakat mengenai pentingnya mewujudkan suatu masyarakat madani. Masyarakat madani pada akhirnya juga menguntungkan masyarakat itu sendiri, karena masyarakat madani menjadi pelaku utama penyelenggara pemerintahan dan menjadi jalan yang mudah untuk mewujudkan sistem sosial yang dicita-citakan.

b. Kepercayaan


Rasa saling percaya dalam masyarakat sangat penting dalam mewujudkan masyarakat madani. Sebab sangat mustahil muncul kerja sama jika satu sama lain tidak saling percaya. Rasa saling percaya dapat ditumbuhkan dengan rasa keadilan dan kejujuran dalam berbagai dimensi kehidupan.

c. Parsamaan tujuan dan misi


Karakteristik dalam masyarakat yang berbeda-beda janganlah dijadikan sebagai pemicu pertikaian, tetapi bagaimana perbedaan tersebut bisa disikapi serta diarahkan menjadi satu hal yang bersifat uniformity(keseragaman), tetapi dalam wujud unity (kesatuan). Oleh karena untuk mewujudkan cita-cita masyarakat harus diupayakan adanya kesamaan pandangan mengenai tujuan dan misi.

d. Satu hati dan saling tergantung


Apabila sudah tercipta rasa saling percaya selanjutnya dibutuhkan kondisi satu hati untuk menentukan arah kehidupan. Apabila tercpta rasa satu hati, maka akan tercipta rasa saling ketergantungan. Hal itu dapat dilihat dari makin menguatnya rasa saling tergantung antara individu dan masyarakat.

Saling bergantung bukan berarti tidak bisa mandiri sehingga hanya bisa mengandalkan orang lain, melain ka diartikan sebagai saling membutuhkan serta saling terikat satu sama lain. Sebab, orang yang saling membutuhkan lebih mudah dalam menggalang kerja sama. Rasa saling membutuhkan antar berbagai unsur masyarakat akan menjadi bagian terpenting dari moral kehidupan masyarakat.

e. Pamahaman yang sama


Untuk membentuk masyarakat madani diperlukan adanya pemahaman yang sama menganai apa dan bagaimana karakteristik masyarakat madani. Secara konsepsional, prinsip-prinsip masyarakat madani harus dipahami bersama sehingga relatif tidak ada yang tidak memahami apa yang digariskan dalam prinsip-prinsip dasar masyarakat madani dalam dinamika kehidupan masyarakat. Setelah masyarakat paham, maka langkah-langkah pemenuhan syarat-syarat sebelumnya akan lebih mudah.

Meskipun aktifitas masyarakat madani terbilang bebas dari kekuasaan pemerintah, namun mereka tetap berada pada jalur yang benar, artinta mereka tetap patuh pada peraturan yang ditentukan oleh pemerintah. Selain itu, amsyarakt madani juga bisa bertindak sebagai pengontrol kekuasaan pemerintah agar tidak sewenng-wenang dan hak asasi warga terkenang. Karena untuk mewujudkan masyarakat madani, hak asasi warga negara harus terjamin pelaksnaannya.

C. Penutup


1. Kesimpulan

Masyarakat Madani dapat diartikansebagai adab atau beradab, dan menjadi salah satu tujuan negara yang dicita-citakan untuk mencapai kesejahteraan dengan melalui beberapa aspek, dan karakteristik yang sudah di perhitungkan.

Masyarakat madani juga mempunya ciri-ciri yang bisa dijadikan sistem kenegaraan dalam mencapai tujuan masyarakat yang makmur dan sejahtera, antra lain ciri-cirinya yaitu:
a. Kesukarelaan.
b. Keswasembadaan.
c. Kemandirian yang tinggi terhadap negara.
d. Keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati.

Hal inilah yang menjadi tolak ukur tercapainya Masyarkat madani pada negara yang mempunyai tujuan kemakmuran dan mencapai kesejahteraan, negara juga harus mempunyai demokrasi yang transfaran dalam kepemerintahanya.

Masyarakat madani ini sangat mempunyai ciri khas yang menjadikan tujuan negara pada masa ini untuk mencapai tujuan.


2. Kata Penutup

Demikianlah makalah ini penulis buat dengan sebenar-benarnya. Penulis yakin didalamnya masih ada banyak kekurangan dan kesalahan, maka dari itu penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca dan dosen agar bisa membuat makalah yang lebih baik lagi kedepannya. Atas perhatian dan sarannya penulis ucapkan terimakasih.

DartarPustaka


Hikam, Muhammad A.S. 1999. Demokrasidan civil society.Jakarta: LP3S.
http://www.slideshare.net/mobile/suherlambang/masyarakat-madani-15763229

Kekeliruan Berfikir, Jangan Sampai Kamu Lakukan

kekeliruan berfikir materi lengkap
kekeliruan berfikir materi lengkap

BAB I

PEMBAHASAN


A. Pengertian Kekeliruan Berfikir.


Perkataan fallacy dalam bahasa Inggris secara umum berarti gagasan atau keyakinan yang salah (palsu), dalam arti teknis yang sempit itu perkataan fallacy kita terjemahkan dengan istilah “Kerancuan berfikir” atau “Berfikir rancu” yang semuanya menunjuk pada jalan pikiran yang tidak tepat atau keliru. Jadi, kekeliruan berfikir adalah bentuk-bentuk atau jenis-jenis argument yang tidak tepat atau yang salah (incorrect argument).[1]

B. Macam-Macam Kekeliruan Berfikir.


Dalam ilmu logika kekeliruan berfikir terbagi menjadi tiga yaitu kekeliruan formal, kekeliruan informal dan kekeliruan karena penggunaan bahasa.

1. Kekeliruan Formal.


Kekeliruan formal adalah bentuk-bentuk jalan pikiran yang keliru yang memperlihatkan bentuk-bentuk luar yang sama dengan bentuk-bentuk argument yang valid. Terdapat beberapa contoh kekeliruan formal yaitu[2]:

a. Fallacy of four terms (kekeliruan karena menggunakan empat term).

Kekeliruan berpikir karena menggunakan empat term dalam silogisme.Ini terjadi karena term penengah diartikan ganda.

Contoh: Orang yang berpenyakit menular harus diasingkan. Orang yang berpenyakit panu dapat menularkan penyakitnya, jadi orang yang panuan harus diasingkan.

b. Fallacy of undistributed middle (kekeliruan karena kedua term penengah tidak mencakup).

Kekeliruan berpikir karena tidak satu pun dari kedua term penengah mencakup.

Contoh: Orang yang terlalu banyak masalah kurus. Dia kurus sekali, karena itu tentulah ia banyak masalah.

Orang yang suka berjemur kulitnya hitam. Gadis itu berkulit hitam, karena itu tentulah ia suka berjemur.

c. Fallacy of illcit process (kekeliruan karena proses tidak benar).

Kekeliruan berpikir karena term premis tidak mencakup (undistributed) tetapi dalam konklusi mencakup.

Contoh: Gajah adalah binatang. Ular bukanlah gajah, karena itu ular bukanlah binatang.

d. Fallacy of two negative premises (kekeliruan karena menyimpulkan dari dua premis negative).

Kekeliruan berpikir karena mengambil kesimpulan dari dua premis negative. Apabila terjadi demikian sebenarnya tidak bisa di tarik konklusi.

Contoh: tidak satu pun barang yang itu murah dan semua barang di toko itu adalah tidak murah, jadi kesemua barang di toko itu adalah baik.

e. Fallacy of affirming the consequent (kekliruan karena mengakui akibat).

Kekeliruan berpikir dalam silogisme hipotetika karena membenarkan akibat kemudian membenarkan pula sebabnya.

Contoh: Bila presiden A terpilih, Ekonomi akan lebih baik, Sekarang ekonomi lebih baik, jadi presiden A terpilih.

f. Fallacy of denying antecedent (kekeliruan karena menolak sebab).

Kekeliruan berpikir dalam silogisme hipotetika karena mengingkari sebab kemudian disimpulkan bahwa akibat juga tidak terlaksana.

Contoh: jika presiden datang maka semua orang kkan mengerumuni, sekarang presiden tidak datang, jadi orang-orang tidak mengerumuni.

g. Fallacy of Disjunction (kekeliruan dalam bentuk disyungtif).

Kekeliruan berpikir terjadi dalam silogisme disyungtif karena mengingkari alternative pertama, kemudian membenarkan alternative lain. Padahal menurut patokan, pengingkaran alternative pertama, bisa juga tidak terlaksananya alternative yang lain.

Contoh: Ani pergi ke Jepara atau ke Kudus. Ternyata Ani tidak ada di Jepara.Berarti Ani di Kudus. (padahal bisa saja Ani tidak di Jepara maupun di Kudus.

h. Fallacy of Incosistency (kekeliruan karena tidak konsisten).

Kekeliruan berpikir karena tidak runtutnya pernyataan yang satu dengan pernyataan yang diakui sebelumnya.

Contoh: Tugas makalah saya sudah sempurna, hanya saja saya harus melengkapi sedikit kekurangannya.



2. Kekeliruan Informal.


Pada kerancuan informal tidak terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan formal dalam berargumen, sekurang-kurangnya tidak terjadi pelanggaran secara langsung terhadap aturan aturan formal.Meskipun demikian, kesimpulan yang diajukan atau ditarik sesungguhnya tidak mendapat dukungan premis-premis yang diajukan dalam argument yang bersangkutan.[3]Berikut dibawah ini adalah kekeliruan informal:

a. Fallacy of Hasty Generalization (kekeliruan karena membuat generalisasi yang terburu-buru)[4].

Yaitu, mengambil kesimpulan umum dari kasus individual yang terlampau sedikit, sehingga kesimpulan yang ditarik melampaui batas lingkungannya.

Contoh: Dia seorang yang cantik, mengapa sombong?.Kalau begitu orang cantik memang sombong.

b. Fallacy of Forced Hypothesis (kekeliruan karena memaksakan praduga).

Yaitu, kekeliruan berpikir karena menetapkan kebenaran suatu dugaan.

Contoh: Seorang mahasiswa pergi ke kampus dengan wajah dan pakaian lusuh sekali, seorang temannya menyatakan bahwa itu semua adalah kebiasaan yang sering sekali dilakukan dalam kehidupanya, padahal sebenarnya wajah dan baju lusuh itu karena akibat sakit.

c. Fallacy of Begging the Question (kekeliruan karena mengundang permasalahan).

Yaitu kekeliruan berpikir karena mengambil konklusi dari premis yang sebenarnya harus dibuktikan dahulu kebenarannya.

Contoh: Pengacara X memang luar biasa hebatnya(disini orang hendak membuktikan bahwa pengacara X memang hebat dengan banyaknya Clien, tanpa bukti kualitasnya diuji terlebih dahulu ).

d. Fallacy of Circular Argument (kekeliruan karena menggunakan argument yang berputar).

Yaitu kekeliruan berpikir karena menarik konklusi dari satu premis kemudian konklusi tersebut dijadikan sebagai premis sedangkan premis semula dijadikan konklusi pada argument berikutnya. Contoh: Prestasi kampus X semakin menurunkarena banyaknya mahasiswa yang malas. Mengapa banyak mahasiswa yang malas ?karena prestasi kampus menurun.

e. Fallacy of Argumentative leap (kekeliruan karena berganti dasar).

Yaitu kekeliruan berpikir karena mengambil kesimpulan yang tidak diturnkan dari premisnya.Jadi mengambil kesimpulan melompat dari dasar semula.

Contoh: Pantas ia memeiliki harta yang melimpah, sebab ia cantik dan berpendidikan tinggi.

f. Fallacy of Appealing to Authority(kekeliruan karena mendasarkan pada otoritas).

Yaitu kekeliruan berpikir karena mendasarkan diri pada kewibawaan atau kehormatan seseorang tetapi dipergunakan untuk permasalahan di luar otoritas ahli tersebut.

Contoh: Shampo merk X sangat baik mengatasi kerontokan, sebab Agnes Monica mengatakan demikian.

(Agnes Monica adalah seorang penyanyi, ia tidak mempunyai otoritas untuk menilai baik tidaknya shampoo sebab ia adalah penyanyi bukan pakar kesehatan rambut).

g. Fallacy of Appealing to force (kekeliruan karena mendasarkan diri pada kekuasaan).

Yaitu kekeliruan berpikir karena berargumen dengan kekuasaan yang dimiliki, seperti menolak pendapat/argument seseorang dengan menyatakan seperti ini.

Contoh: Anda masih saja membantah dan tidak terima dengan pendapatku, kamu itu siapa dan sejak kapan kamu duduk sebagai anggota Dewan ?, aku ini sudah lebih lama dari pada kamu.

h. Fallacy of Abusing (kekeliruan karena menyerang pribadi).

Yaitu, kekeliruann berpikir karena menolak argument yang dikemukakan seseorang dengan menyerang pribadinya.

Contoh: Jangan dengarkan pendapatnya tuan X karena ia pernah masuk penjara.

i. Fallacy of Ignorance (kekeliruan karena kurang tahu).

Yaitu kekeliruan berpikir karena menganggap bila lawan bicara tidak bisa membuktikan kesalahan argumentasinya, dengan sendirinya argumentasi yang dikemukakannya benar.

Contoh: kalaukau tidak bisa membuktikan kalau setan itu tidak ada, maka jelaslah pendapatku benar bahwa setan itu tidak ada.

j. Fallacy of Complex question (kekeliruan karena pertanyaan yang ruwet).

Yaitu kekeliruan berpikir karena mengajukan pertanyaan yang bersifat menjebak.

Contoh: apakah engkau sudah menghentikan kebiasaan memukuli istrimu? (pertanyaan ini menjebak karena jika dijawab “Ya” maka berarti si suami pernah memukuli istrinya. Jika dijawab “Tidak” maka berarti si suami terus memukuli istrinya.Padahal barangkali si suami tidak pernah memukuli istrinya).

k. Fallacy of oversimplification (kekeliruan karenan alasan terlalu sederhana).

Yaitu kekeliruan berpikir karena berargumen dengan alasn yang tidak kuat atau tidak cukup bukti.

Contoh: Dia adalah siswa terpandai di kelasnya, karena dia mempunyai banyak teman.

l. Fallacy of Accident (kekeliruan karena menetapkan sifat).

Yaitu kekeliruan berpikir karena menetapkan sifat bukan keharusan yang ada pada suatu benda bahwa sifat itu tetap ada selamanya. Contoh: Bahan hidangan untuk pesta besok sudah dibeli tadi pagi. Bahan hidangan untuk pesta yang dibeli tadi pagi sudah busuk. Jadi, hidangan untuk pesta sekarang sudah busuk.

m. Fallacy of irrelevant argument (kekeliruan karena argument yang tidak relevan). Yaitu kekeliruan berpikir karena mengajukan argument yang tidak ada hubungannya dengan masalah yang jadi pokok pembicaraan.

Contoh: Kau tidak mau mengenakan baju yang aku belikan. Apakah engkau mau telanjang ke perjamuan itu?







n. Fallacy of false analogy (kekeliruan karena salah mengambil analogi).

Yaitu kekeliruan berpikir karena menganalogikan dua permasalahan yang kelihatannya mirip, tetapi sebenarnya berbeda secara mendasar.

Contoh: Manusia butuh makanan agar tetap hidup, itu berarti sepeda motor juga perlu makanan untuk dapat hidup.

o. Fallacy of Appealing to Pity (Kekeliruan karena mengundang belas kasih ).

Yaitu kekeliruan berpikir karena menggunakan uraian yang sengaja menarik belas kasihan untuk mendapatkan konklusi yang di harapkan.

Contoh: dalam kasus seorang anak muda yang diadili karena membunuh ibu ayahnya sendiri dengan kapak, memohon kepada hakim untuk memberikan keringanan hukuman dengan alasanbahwa ia adalah seorang yatim piatu.


3. Kekeliruan Karena Penggunaan Bahasa.


Kesesatan ini terjadi karena kurang tepatnya kata-kata, frase-frase, atau kalimat-kalimat yang dipakai untuk mengekspresikan pikiran.[5] Kekeliruan ini terbagi menjadi lima macam yaitu:

a. Ekuivokasi

Dalam setiap bahasa selalu terdapat perkataan-perkataan yang mempunyai lebih dari satu arti. Kerancuan ekuivokasi akan terjadi, jika perkataan yang sama digunakan dalam arti yang berbeda di dalam konteks yang sama.[6]

Contoh: Semua bintang adalah benda astronomis. Jhonny Deep adalah seorang bintang.Jadi, Jhonny Deep adalah suatu benda astronomis.



b. Amphiboly

Kesesatan ini terjadi bukan karena penggunaan suatu kata yang ambigu, tetapi karena penggunaan suatu frase atau suatu kalimat lengkap yang ambigu.[7]

Contoh: Terbungkus dalam sebuah Koran gadis cantik itu membawa tiga potong pakaiannya yang baru.

c. Aksentuasi

Kesesatan ini terjadi karena suatu aksen yang salah atau karena suatu tekanan yang salah dalam pembicaraan.Suatu tekanan suara yang salah diletakkan pada suatu kata yang diucapkan sehingga menyesatkan, membingungkan, atau menghasilkan suatu interpretasi yang salah[8].

Contoh: Ibu, ayah pergi (yang hendak dimaksud adalah ibu dan ayah si pembicara sedang pergi. Tetapi karena ada penekanan pada kata ibu, maknanya menjadi pemberitahuan pada ibu bahwa ayah baru saja pergi).

d. Komposisi

Kesesatan ini terjadi karena penyebutan secara kolektif apa yang seharusnya disebut secara individual.

Contoh: Kuda tersebar di seluruh dunia.

Tiap-tiap bagian dari sebuah mobil adalah ringan, karena itu mobil adalah benda ringan.

e. Divisi

Kesesatan ini terjadi ketika kita menyebut secara individual apa yang seharusnya disebut secara kolektif.

Contoh: Sebuah mobil adalah berat, karena itu tiap-tiap bagian dari mobil adalah berat.
[1]B. Arief Sidharta, Pengantar Logika, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hlm. 59.
[2]Mundiri, Logika, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2012), hlm. 211.
[3]B.Arief Sidharta, OpCit, hlm.59-60.
[4]Mundiri, OpCit, hlm.214.
[5]Rafael Raga Maran, Pengantar Logika, (Jakarta: PT Grasindo, 2007), hlm.189.
[6]B. Arief Sidharta, OpCit, hlm.65.
[7]Rafael Raga Maran, Loc.Cit
[8]Ibid, hlm. 190.

Selasa, 01 November 2016

Mahabbah. Sudahkah kamu laksanakan ini ?

MAKALAH MAHABBAH


BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Setiap manusia pasti selalu mempunyai keinginan untuk dekat dan dicintai oleh tuhannya yang dalam Islam dikenal dengan istilah mahabbah. Namun, tidak semua orang mampu untuk mahabbah, dikarenakan mahabbah bukanlah merupakan hal yang mudah.Mahabbah merupakan rasa cinta yang mendalam terhadap Tuhannya, dengan tujuan untuk mencintai dan dicintai oleh Tuhan. Orang yang telah mendapat rasa mahabbah ini maka dia akan mendapat rasa ketenangan. Ada beberapa cara yang harus dilakukan untuk mencapai mahabah.

Kita selaku umat muslim sekiranya harus mampu mencapai mahabbah demi mendapat kehidupan yang tenang dan damai. Oleh karena itu, maka kamipun menulis makalah ini sebagai salah satu alat untuk penjelasan tentang mahabbah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian mahabbah ?
2. Apa dasar ajaran mahabbah ?
3. Apa tujuan dan kedudukan mahabbah ?
4. Apa alat untuk mencapai mahabbah ?
5. Apa Hikmah mahabbah ?


BAB II

PEMBAHASAN


A. Pengertian Mahabbah


Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci.

Mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang mencintai.

Al mahabbah dapat pula berarti Al Waduud yakni yang sangat kasih atau penyayang. Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-Nya (Mustafa,1999:110)

Imam al Qusyairi, pengarang Risâlah al Qusyairiyyah mendefinisikan cinta (mahabbah) Allah kepada hamba sebagai kehendak untuk memberikan nikmat khusus kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Apabila kehendak tersebut tidak diperuntukkan khusus melainkan umum untuk semua hambaNya. menurut Qusyairi dinamakan Rahmat. kemudian jika irâdah yang tersebut berkaitan dengan adzab disebut dengan murka Allah (ghadlab) (Sholihin,2005:95).



B. Dasar Ajaran Mahabbah


Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran maupun Sunah Nabi SAW.

1. Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:

1) QS. Al-Baqarah ayat 165

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”

2) QS. Ali Imran ayat 31

“ Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”



2. Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:

a. “Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.”





b. “Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.”



(http://racheedus.wordpress.com/makalahku/konsep-cinta-mahabbah-dalam-tasawuf/-13-Mei-2016.jam:11.30.).



3. Dasar Filosofis

Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut:

a. Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)

b. Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan

c. Manusia tentu mencintai dirinya

(http://ngajiislam.blogspot.com/2010/07/cinta-menurut-kajian-tasawuf.html-13-Mei-2016.jam:15.04.).


C. Kedudukan dan Tujuan Mahabbah


Tujuan mahabbah adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa.

Mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam kedudukan maupun pengertiannya. Ma’rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (alQalb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta(roh). Dengan demikian kedudukan mahabbah lebih tinggi dari ma’rifah (Simuh,1996:88).

D. Alat Untuk Mencapai Mahabbah


Harun Nasution mengatakan bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, al-qalb( القلب ) hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh ( الروح ) sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga sir (سر ), yaitu alat untuk melihat Tuhan. Sir lebih halus dari pada roh, dan roh lebih halus dari qalb. Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh bertempat di qalb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qalb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apa pun (Mustafa,1999:55)

E. Hikmah dari Mahabbah

Untuk pengasihan, daya tarik, penakluk segala hati orang, dan kewibawaan atau kharismatik dan mendapat jodoh serta menghindari pasangan dari perselingkuhan.
Mempunyai energi secara halus untuk menaklukkan siapapun dengan energi pengasih (daya tarik) serta ia menjadi orang yang berwibawa dan dihormati banyak orang.
Amalan Hikmah Mahabbah sebagai ikhtiar batin untuk menjaga cinta kasih Anda.
Mendapatkan berkah yang menjaga, memelihara cinta serta persahabatan Anda dengan orang yang Anda sayangi atau cintai.
Keluarga menjadi rukun harmonis, tentram dan mengharmoniskan hubungan sosial dengan orang lain. Dan menjadi keluarga sakinah mawadah waramah (Simuh,1996:44-46).

F. Tokoh yang mengembangkan mahabbah


Hampir seluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa tokoh yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah robi’ah al-adawiyah.Robi’ah al-adawiyah adalah seorang jahid perempuan yang amat besar dari Basyrah, di Iraq. Ia hidup antara tahun 713-801 H, ia meninggal dunia dalam tahun 185 H / 796 M. Menurut riwayat ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadat, bertaubat dan menjauhi hidup. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang diberikan orang kepadanya, ia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari tuhan ia betul-betul hidup dalam keadaan juhud dan hanya ingin berada dekat dengan tuhan (Solihin,2005:30-32).

BAB III

PENUTUP


A. Kesimpulan


Mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang mencintai yang bertujuan untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa.Selain itu juga mahabbah merupakan hal keadaan mental seperti senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Mahabbah berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi para sufi dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah swt.

B. Saran dan Kritik


Saya tahu bahwa makalah ini sangat kurang lengkap dan jauh dari kata sempurna oleh karena itu kami sangat membutuhkan bantuan untuk menjadikan makalah ini menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA


Mustafa.1999.Akhlak Tasawuf .Bandung:Pustaka Setia.
Sholihin.2005.Akhlak Tasawuf.Bandung:Nuansa.
Simuh.1996.Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam.Jakarta:RajaGrafindo Persada.
http://racheedus.wordpress.com/makalahku/konsep-cinta-mahabbah-dalam-tasawuf/-13-Mei-2016.jam:11.30.
http://ngajiislam.blogspot.com/2010/07/cinta-menurut-kajian-tasawuf.html-13-Mei-2016.jam:15.04.

Sejarah Ilmu Tafsir

Makalah Sejarah Ilmu Tafsir

BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Secara etimologi tafsir bisa berarti: الايضاح والبيان (penjelasan), الكشف (pengungkapan) dan كشف المراد عن اللفظ المشكل (menjabarkan kata yang samar ).[i][i] Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya.

Menafsirkan Al-Qur’an berarti berupaya untuk menjelaskan dan mengungkapkan maksud dan kandugan Al-Qur’an. Oleh karena objek tafsir adalah Al-Qur’an, dimana ia adalah sumber pertama ajaraan islam sekaligus petunjuk bagi manusia, maka penafsiran terhadap Al-Qur’an bukan hanya hal yang diperbolehkan, bahkan lebih dari itu, suatu keharusan, bagi orang-orang yang memenuhi kualifikasi untuk melakukan ini.[ii][ii]

Penafsiran al-quran telah dimulai sejak Al-Qur’an itu turun (16:44,64). Mufasirnya adalah Nabi Muhammad sendiri, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’i dan seterusnya sampai sekarang. Wacana itu menunjukkan bahwa tafsir Al-Qur’an termasuk ilmu yang pertama kali lahir dalam wacana intelektual islam.



B. Rumusan Masalah

· Bagaimana perkembangan tafsir pada masa Rasul?

· Bagaimana perkembangan tafsir pada masa Sahabat?

· Bagaimana Perkembangan tafsir pada masa tabi’in?

C. Tujuan Pembahasan

· Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa rasul.

· Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa sahabat.

· Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa tabi’in.


BAB II

SEJARAH ILMU TAFSIR

A. Tafsir Pada Masa Rasulullah Dan Sahabat


Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran.

Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.

Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.

Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para tabi'in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi'in di kota-kota tersebut, seperti:

a. Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu 'Abbas.

b. Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka'ab.

c. Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud.

Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul saw., penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi Al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.

Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi'in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.

Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya, dan bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in.

Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti dikatakan oleh 'Abdullah Darraz dalam Al-Naba'Al-Azhim:

"Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya., maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat."

Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: "Al-Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal."[iii][iii]

B. Tafsir di Masa Tabi’in


Ada beberapa tempat yang oleh tabi’in dijadikan sebagai pusat perkembangan ilmu tafsir. Para tokoh tabi’in mendapatkan qaul-qaul sahabat di tiga tempat yaitu Makkah, Madinah dan di Iraq. Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Orang-orang yang paling mengerti tentang tafsir adalah orang-orang Makkah, karena mereka adalah murid-murid Ibnu Abbas r.a. seperti Mujahid, ‘Atho’ ibn Abi Riyah, ‘Ikrimah, Jubair, Thawus, dan lain-lain. Begitu juga di Kufah ada murid-murid Ibnu Mas’ud. Sedangkan ulama Madinah di bidang tafsir seperti Zaid Ibnu Aslam.”[iv][iv]

Sebagaimana para sahabat, tabi’in pun ada yang menerima tafsir dengan ijtihad ada pula yang menolaknya. Golongan yang tidak membolehkan mengkritik orang yang membolehkan dengan beberapa hadis, seperti

من تكلّم في القرأن فأصاب فأخطأ

Diantara tabi’in yang menolak metode tafsir bi al-ijtihad adalah Sa’id Ibn al-Musayyab dan Ibnu Sirin. Diantara tabi’in yang membolehkan seperti Mujahid, ‘Ikrimah dan sahabat-sahabatnya.

Para tabi’in juga memberikan perhatian yang sangat besar kepada Israiliyyat dan Nasraniyyat. Mereka menerima berita-berita dari orang-orang Yahudi dan Nashrani yang masuk Isam, kemudian mereka memasukkannya kedalam tafsir. Menurut keterangan yang ditulis Hamka, para mufassir saat itu sangat berbaik sangka kepada pembawa berita. Mereka menganggap orang yang telah masuk Islam tidak mau berdusta. Oleh sebab itu, para mufassir saat itu tidak mengoreksi lagi khabar-khabar yang mereka terima.


C. Tafsir pada Masa Tadwin


Masa tadwin ini dimulai dari awal zaman Abbasiah. Para ulama saat itu mengumpulkan hadis-hadis yang mereka peroleh dari para sahabat dan tabi’in. Mereka menyusun tafsir dengan menyebutkan sepotong ayat, kemudian menyebutkan riwayat dari para sahabat dan tabi’in. Namun demikian, ayat-ayat al-Quran yang ditafsiri ini masih belum tersusun sesuai dengan susunan mushaf.

Untuk memisahkan hadis-hadis tafsir dari hadis yang lain, para ulama mengumpulkan hadis-hadis yang marfu’ dan hadis-hadis mauquf tentang tafsir. Mereka mengumpulkan hadis bahkan dengan mengambilnya dari berbagai kota. Di antara ulama yang mengumpulkan hadis dari berbagi daerah ini adalah: Sufyan Ibnu ‘Uyainah, Waki’ Ibnu Jarrah, Syu’bah Ibnu Hajjaj, Ishaq Ibnu Rahawaih.

Pada akhir abad kedua barulah hadis-hadis tafsir dipisahkan dari hadis-hadis lainnya dan disusun tafsir berdasarkan urutan mushaf. Menurut penelitian Ibnu Nadim, orang yang pertama kali menafsirkan ayat-ayat al-Quran menurut tertib mushaf adalah al-Farra’. Ia melakukannya atas permintaan ‘Umar Ibnu Bakir. Ia mendiktekan tafsirnya kepada murid-muridnya di masjid setiap hari Jum’at.

Pada masa Abbasiyah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan berkembang pula ilmu tafsir. Para ulama’ nahwu seperti Sibawaihi dan al-Kisaiy mengi’rabkan al-Quran. Para ahli nahwu dan bahasa menyusun kitab yang dinamakan dengan Ma’ani al-Quran.

D. Kodifikasi Ilmu Tafsir


Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu:

· Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya.[v][v]

· Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in.[vi][vi]

· Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut.[vii][vii] Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat

غير المغضوب عليهم ولاالضالين

ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni.

· Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya.[viii][viii]

· Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.[ix][ix]

Tradisi keilmuan yang berbeda berkembang di belahan barat dunia Islam seperti Andalusia, Tunisia, Fas, Granada dan lainnya. Jika di timur yang berkembang adalah syarah dan komentar (ta`liq/hasyiyat) maka di barat tradisi anilitik tanpa melupakan uraian kata dan ungkapan berkembang dengan baik. Di antara karya tafsir yang muncul di sana adalah karya Ibnu Arfah (w 803 H) dan al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur`ân karya al-Qurthubiy (w 671 H).

Pada masa Ottoman, sampai awal abad ke 13 H literatur tafsir yang mendominasi dunia Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian; pertama: tafsir ilmiah sunni yang diwakili oleh tafsir al-Baidhawi dan Abu Su`ud; kedua : tafsir ilmiah syiah seperti karya Al-Thusi, al-Qummiy dan al-Thabarsiy (Majma` al-Bayân), ketiga : tafsir sufi yang tidak terikat dengan istilah teknis ilmiah dan bahasa yang diwakili oleh Rûh al-Bayân karya Ismail Haqqi al-Barsawiy. Ketiga tradisi keilmuan; sunnah, syiah dan sufi tersebut mempengaruhi kehidupan Al-Alusiy (w. 1270 H) yang melahirkan karya Rûh al-Ma`âniy. Suatu karya yang cukup kuat dengan menghimpun ketiga tradisi keilmuan yang berkembang pada masa Ottoman. Al-Alusi berhasil menunjukkan kemampuan intelektualnya dalam menggali pesan-pesan Alquran dengan perangkat keilmuan yang memadai, selain juga menampilkan kepribadian sufi dalam dirinya dalam bentuk capaian makna-makna isyarat di balik lafal Alquran.

Sampai pada al-Alusi penafsiran Alquran lebih merupakan suatu masalah akademis. Memahami sebuah tafsir memerlukan pengetahuan yang detil terhadap kata-kata teknis dan istilah-istilah bahasa Arab, hukum dan dogma, sunah Nabi dan para Sahabat serta bigrafi Nabi. Tafsir-tafsir Alquran merupakan ensiklopedi-ensiklopedi dari ilmu-ilmu tersebut atau lebih merupakan kutipan dari ensiklopedi tersebut.

BABIII

PENUTUP

A. KESIMPULAN



1. Rasulullah berkewajiban menjelaskan tentang penafsiran al-qura’n kepada para sahabat tapi karena tidak dijelaskan sampai akhir mengakibatkan sahabat ada yang melakukan ijtihad. Dengan mengambil riwayat dari ibn abbas sahabat mampu memahami al-quran dengan pemahaman yang mendalam tetapi tidak sampai merumuskan balaghah yang diperlukan untuk generasi berikutnya.
2. Penafsiran yang dilakukan rasulullah, sahabat serta tabi’un tabi’in belum dilakukan dalam bentuk kitab sehingga masih ada kesulitan untuk mempelajarinya. Barulah pada masa akhir bani umayyah dilakukan pembukuan dari penafsiran al-quran. Tafsir yang dilakukan mulai dari ibnu abbas, sa’id bin jubair, dan abu ubaidah.

DAFTAR PUSTAKA


Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun 1/13, Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an hal : 323
Al-Aridl, Ali Hasan, “Sejarah dan Metodologi Tafsir”, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1991), hal. VII
Ash Shiddieqy, M. Hasbi. Sedjarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir. (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), 237.
Baidan, Nashrudin, “Wawasan Baru Ilmu Tafsir”, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hal.2
Chirzin, Muhammad, Al-Quran dan Ulumul Quran. (Yogyakarta : PT Dana Bhakti Primayasa, 1998), 310
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992). hlm. 72.



[i][i] Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun 1/13, Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an hal : 323
[ii][ii] Ali Hasan Al-Aridl, “Sejarah dan Metodologi Tafsir”, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1991), hal. VII
[iii][iii] M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992). hlm. 72.
[iv][iv] Muhammad Chirzin. Al-Quran dan Ulumul Quran. (Yogyakarta : PT Dana Bhakti Primayasa, 1998), 310
[v][v] M. Hasbi Ash Shiddieqy. Sedjarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir. (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), 237.
[vi][vi] Ibid, 237-238.
[vii][vii] Ibid, 238.
[viii][viii] Ibid, 239.
[ix][ix] Ibid, 239.